IMAN KEPADA ALLAH #3
Oleh: DR. Ahmad bin Abdurrahman Al-Qaadhi
Cakupan iman kepada Allah yang kedua: iman kepada Rubuubiyyah Allah.
Iman kepada Rubuubiyyah Allah adalah meyakini dengan keyakinan yang sempurna bahwa Allah ta’ala esa, Dia adalah Rabb; yakni Pencipta, Pemilik dan yang memerintah. Makna Rabb adalah: Tuan, Pemilik, yang menguasai, yang memelihara alam semesta dengan nikmat-nikmat-Nya. Allah berfirman:
قَالَ فَمَن رَّبُّكُمَا يَٰمُوسَىٰ ٤٩ قَالَ رَبُّنَا ٱلَّذِيٓ أَعۡطَىٰ كُلَّ شَيۡءٍ خَلۡقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ ٥٠
“Berkata Fir’aun: ‘Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?’. Musa berkata: ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk’.” (QS. Tha Ha [20]: 49-50)
Rubuubiyyah Allah berporos pada tiga hal berikut:
1. Al-Khalqu (menciptakan)
Adalah pencipta segala sesuatu, selain Allah adalah makhluk. Allah berfirman:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar [39]: 62)
وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقْدِيرًا
“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2)
Setiap penciptaan yang disandarkan kepada selain Allah, adalah penciptaan yang nisbi (relatif, tidak mutlak); karena itu sekedar memvariasikan, menyusun dan memperkirakan, bukan menciptakan dari tidak ada menjadi ada, seperti firman Allah:
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mu’minun [40]: 14)
2. Al-Mulku (memiliki, merajai)
Allah adalah Pemilik, segala sesuatu selain-Nya adalah yang dimiliki. Allah berfirman:
أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Al-Baqarah [2]: 107)
وَلِلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali- Imran [3]: 189)
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ
“Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki’.” (Ali- Imran [3]: 26)
ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۚ وَٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا يَمۡلِكُونَ مِن قِطۡمِيرٍ
“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir [35]: 13)
Setiap kepemilikan yang disandarkan kepada selain Allah adalah kepemilikan yang nisbi, sementara, tidak utuh. Sebagaimana yang Allah firmankan:
يَٰقَوۡمِ لَكُمُ ٱلۡمُلۡكُ ٱلۡيَوۡمَ ظَٰهِرِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِ
“(Musa berkata): ‘Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi’.” (QS. Ghafir [40]: 29)
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ
“Atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa [4]: 3)
Adapun kepemilikan yang mutlak dan sempurna, maka hanya bagi Allah ‘azza wa jalla semata. Allah berfirman:
إِنَّا نَحۡنُ نَرِثُ ٱلۡأَرۡضَ وَمَنۡ عَلَيۡهَا وَإِلَيۡنَا يُرۡجَعُونَ
“Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.” (QS. Maryam [19]: 40)
3. Memerintah
Allah adalah satu-satunya yang memerintah, adapun selain-Nya adalah yang diperintah. Allah berfirman:
قُلۡ إِنَّ ٱلۡأَمۡرَ كُلَّهُۥ لِلَّهِۗ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah’.” (QS. Ali Imran [3]: 154)
أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raf [7]: 54)
وَقُضِيَ ٱلۡأَمۡرُۚ وَإِلَى ٱللَّهِ تُرۡجَعُ ٱلۡأُمُورُ
“Dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 210)
Allah befriman kepada Nabi-Nya:
لَيۡسَ لَكَ مِنَ ٱلۡأَمۡرِ شَيۡءٌ أَوۡ يَتُوبَ عَلَيۡهِمۡ أَوۡ يُعَذِّبَهُمۡ فَإِنَّهُمۡ ظَٰلِمُونَ
“Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran [3]: 128)
Maka, apalagi orang-orang selain Nabi. Allah juga berfirman:
لِلَّهِ ٱلۡأَمۡرُ مِن قَبۡلُ وَمِنۢ بَعۡدُۚ وَيَوۡمَئِذٖ يَفۡرَحُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
“Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,” (QS. Ar-Rum [30]: 4)
Allah adalah satu-satunya yang memerintah kepada makhluk-makhluk-Nya, semua perintah yang disandarkan kepada selain-Nya, seperti dalam firman Allah:
فَٱتَّبَعُوٓاْ أَمۡرَ فِرۡعَوۡنَۖ وَمَآ أَمۡرُ فِرۡعَوۡنَ بِرَشِيدٖ
“Tetapi mereka mengikut perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar.” (QS. Hud [11]: 97)
Itu adalah perintah yang nisbi, masuk dalam cakupan kehendak Allah; apabila Allah berkehendak, maka Dia membiarkannya terjadi, jika Dia berkehendak, maka menghalanginya.
Perintah Allah yang Maha suci mencakup perintah kauni dan perintah syar’i; adapun perintah kauni, maka ia pasti terjadi dan tidak mungkin tidak, perintah kauni itu semakna dengan masyii-ah (kehendak). Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (QS. Ya Sin [36]: 82)
Adapun perintah syar’i, maka itu adalah subjek (tempat) ujian, ia semakna dengan mahabbah (cinta); terkadang ia terealisasi dan terkadang tidak. Walupun semuanya (baik perintah kauni maupun syari’) termasuk ke dalam keumuman masyii-ah (kehendak). Seperti yang Allah firmankan:
لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ ٢٨ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir [81]: 28-29)
Sifat-sifat rubuubiyyah Allah yang lainnya kembali kepada tiga poros ini; menciptakan, memiliki, memerintah. Seperti memberi rizki, menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuhan di bumi, mengendalikan angin, mengatur peredaran bintang, mempergilirkan malam dan siang, mengatur kehamilan, kelahiran, kesehatan dan kesakitan, mengatur kemuliaan dan kehinaan, dan lain sebagianya.
Iman terhadap rubuubuyyah Allah yang Mahasuci telah tertancap dalam fitrah, dapat dicapai dengan akal tanpa memerlukan pemikiran mendalam, buktinya nampak jelas pada alam semesta, dalilnya melimpah dalam Al-Quran dan Sunnah. Di antara dalil-dalil dari kitabullah adalah:
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِي تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٖ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٖ وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164)
تُولِجُ ٱلَّيۡلَ فِي ٱلنَّهَارِ وَتُولِجُ ٱلنَّهَارَ فِي ٱلَّيۡلِۖ وَتُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَتُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّۖ وَتَرۡزُقُ مَن تَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ
“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran [3]: 27)
Dan dalam ayat-ayat berikut: Al-An’am: 95-99, Ar-Ra’d: 2-4, An-Nahl: 3-18, Al-Mu’minuun; 11-22, An-Nur: 43-45, Al-Furqan: 45-54, Ar-Rum: 17-27, Ar-Rahman; 1-25, An-Naba; 7-16, An-Nazi’at; 27-33 dan ‘Abasa: 24-32.
Secara umum, bani adam menerima keesaan Allah ta’ala dalam rubuubiyyah; bahwa Allah adalah Pencipta, Pemilik, Pengatur. Bahkan kaum musyrikin Arab pun demikian. Allah menyebutkan tentang pengakuan mereka terhadap tauhid ini dalam beberapa ayatnya, seperti firman-Nya:
قُل لِّمَنِ ٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهَآ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٨٤ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٨٥ قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ ٱلسَّبۡعِ وَرَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ ٨٦ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٨٧ قُلۡ مَنۢ بِيَدِهِۦ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيۡهِ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٨٨ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ فَأَنَّىٰ تُسۡحَرُونَ ٨٩ بَلۡ أَتَيۡنَٰهُم بِٱلۡحَقِّ وَإِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ ٩٠
“Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’. Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’. Katakanlah: ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?’. Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’. Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’. Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’. Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. Al-Mu’minun [40]: 84-90)
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,” (QS. Az-Zukhruf [43]: 87)
Penyimpangan yang terjadi dalam tauhid ini hanya sedikit dan parsial, berasal dari kelompok-kelompok yang beragam, di mana mereka menyekutukan Allah dalam rubuubiyyah. Seperti:
1. Sekte Tsanawiyyah (penganut akidah dualisme) dari Majusi dan Maanuuwiyyah (Manichaenisme)
Mereka yang mengatkana bahwa alam itu memiliki dua pencipta: Tuhan cahaya; Dia yang menciptakan kebaikan, dan Tuhan kegelapan; dia yang menciptakan keburukan!. Mereka sepakat bahwa cahaya lebih baik daripada kegelapan, namun mereka berselisih pendapat tentang kegelapan; apakah ia terdahulu atau baru?
2. Nashara (orang-orang kristen)
Mereka yang meyakini trinitas; mereka mengeklaim bahwa tuhan yang satu itu berasal dari 3 oknum1: Bapak, Ibu dan roh Kudus.
Namun mereka tidak menyatakan bahwa alam memiliki tiga pencipta yang sebagian mereka terpisah dari sebagian yang lainnya, mereka sepakat bahwa pencipta alam semesta hanya satu.
3. Kaum musyrikin Arab
Mereka yang meyakini bahwa sembahan mereka dapat memberikan suatu manfaat dan mudarat, dan dapat mengatur. Oleh karena itu mereka mengundi nasib dengan anak panah.
4. Sekte Qadariyyah
Mereka yang mengatakan bahwa hamba menciptakan perbuatannya sendiri, dengan penciptaan yang sama sekali tidak ada andil Allah.
Semua kesesatan di atas terbantahkan dengan dalil fitrah, dali akal, dalil hissi (petunjuk yang dapat diindra), dalil syar’i yang menunjukkan keesaan Rabb dalam menciptakan, memiliki dan memerintah. Allah berfirman:
مَا ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ مِن وَلَدٖ وَمَا كَانَ مَعَهُۥ مِنۡ إِلَٰهٍۚ إِذٗا لَّذَهَبَ كُلُّ إِلَٰهِۢ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ سُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu,” (QS. Al Mu’minun [40]: 91)
Sembahan yang benar itu haruslah sosok yang dapat menciptakan dan mampu melakukan apapun yang dikehendakinya, jika seandainya Allah itu memiliki sekutu, niscaya sekutu itupun dapat menciptakan dan melakukan kehendaknya. Apabila hal ini terjadi, maka tidak akan keluar dari dua kemungkinan berikut:
Kemungkinan pertama:
Masing-masing tuhan akan membawa ciptaannya sendiri, dan merdeka (memisahkan diri) dengan kekuasaannya: namun kemungkinan ini tertolak dengan teraturnya alam semesta ini.
Kemungkinan kedua:
Terjadi pertarungan dan perebutan kekuasaan di antara keduanya, jika salah satu Tuhan ingin menggerakkan suatu tubuh, sedangkan yang lainnya ingin membuatnya diam, atau salah satu Tuhan ingin menghidupkan sesuatu, dan yang lainnya ingin mematikannya, maka, hal yang mungkin terjadi adalah: keinginan kedua Tuhan itu terwujud, atau hanya keinginan salah satu Tuhan saja yang tercapai, atau masing-masing dari dua Tuhan itu tidak ada yang keinginannya terwujud.
Kemungkinan pertama dan ketiga adalah perkara mustahil; karena keduanya saling bertentangan, tidak mungkin dua perihal berlawanan itu dapat berkumpul, dan tidak mungkin pula dua kemungkinan itu lenyap. Maka tinggal satu kemungkinan yang tersisa; siapa yang keinginannya terwujud, maka dialah Tuhan yang Mahakuasa (yang pantas untuk disembah), adapun yang lainnya, maka dia tidak layak untuk diibadahi (karena tidak memiliki kekuasaan).
Keadaan demikian menggiring kepada penetapan bahwa Rabb itu tunggal; Pencipta yang esa, Raja yang esa dan Pengatur yang esa. Inilah yang dinamakan dalil tamaa’nu’ (dalil akal yang menetapkan hanya ada satu Tuhan, dan menolak adanya keberagaman Pencipta dan Pengatur, karena keadaan alam yang teratur menunjukkan bahwa Tuhan itu hanya satu, jika seandainya alam ini diatur oleh lebih dari satu Tuhan, niscaya tidak akan teratur dan akan ada kerusakan pent).
Bersambung in syaa Allah…
Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Al-‘aqiidah al-muyassarah minal kitaabil ‘aziiz was sunnah al-muthahharah
Footnote:
[1] Berdasarkan KBBI, oknum adalah penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi: kesatuan antara bapak, Anak, dan Roh Kudus sebagai tiga keesaan Tuhan