TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA #3

Ketiga: Tauhid Asma wa Shifat

Tauhid Asma wa Shifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama (Asma) dan sifat-sifat-Nya, yaitu dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang Allah tetapkan dalam kitab-Nya atau yang ditetapkan melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa tahriif (mengubah makna atau lafaz), ta’thiil (menolak), takyiif (memvisualkan) dan tanpa tamtsiil (menyerupakan).

Tidak boleh sedikitpun meniadakan nama ataupun sifat yang telah Allah sebutkan untuk diri-Nya; karena Allah berfirman:

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’raf [7]: 180)

Karena hal itu (peniadaan sifat Allah) merupakan penolakan yang akan menyebabkan kepada penyelewengan nash (dalil Al-Quran dan Sunnah) atau mendustakannya, serta menyifati Allah dengan sifat-sifat yang cacat dan tercela.

Tidak boleh menamai dan menyifati Allah dengan nama dan sifat yang tidak disebutkan dalam kitab dan sunnah; karena itu termasuk berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra [17]: 36)

Tidak boleh menetapkan nama dan sifat Allah ta’ala disertai dengan tamtsiil (menyerupakan dengan sifat makhluk), berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

Karena menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk termasuk menyekutukan-Nya, yang mana hal demikian akan mendorong kepada tahriif (menyelewengkan) nash-nash (teks) Al-Quran dan Hadits, atau mendustakan sifat-sifat itu yang disertai dengan pencemaran terhadap Allah, karena mempersamakan Allah dengan makhluk-Nya yang tentunya tidak sempurna.

Dan tidak boleh pula menetapkan nama dan sifat Allah ta’ala disertai dengan takyiif (menanyakan bagaimana, memvisualkan hakikat), karena yang demikian itu adalah berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, yang akan mengakibatkan kekacauan dan ketidakteraturan dalam sifat-sifat Allah ta’ala, di mana masing-masing orang akan membayangkan suatu kaifiat (keadaan, hakikat) tertentu yang berbeda dari apa yang dibayangkan oleh yang lainnya; lagi pula, hal demikian adalah upaya untuk mengetahui sesuatu yang mustahil dicapai dengan akal, karena betapapun engkau ahli dalam menggambarkan, sesungguhnya Allah Maha tinggi dan Maha agung (jauh dari apa yang terbayang dan terpikir).

Tauhid inilah yang paling banyak diperdebatkan oleh ahi kiblat (orang-orang yang menisbatkan diri kepada islam).

Dalam menyikapi nash-nash (teks Al-Quran dan hadits) tentang tauhid asma wa shifat, mereka terpecah menjadi 4 kelompok:

1. Kelompok yang memberlakukan teks dalil (tentang nama dan sifat) sebagaimana makna zahirnya yang pantas untuk Allah, tanpa dibarengi dengan tahriif (mengubah lafaz atau makna), ta’thiil (penolakan), takyiif (pemvisualan) dan tamtsiil (mempersamakan).

Mereka adalah salaf, inilah kebenaran yang terang (absolut), berdasarkan dalil dari kitab, sunnah, akal dan ijmak, baik dalil yang qath’i (dalil yang menunjukkan satu penafsiran) maupun zhanni (dalil yang multi tafsir).

2. Kelompok yang memberlakukan teks dalil (tentang nama dan sifat) sebagaimana makna zahirnya, akan tetapi mereka menjadikan sifat-sifat Allah setipe dengan sifat-sifat para makhluk.
Mereka adalah sekte Mumatstsilah (yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), mazahab mereka adalah mazhab yang batil menurut kitab, sunnah, akal dan ijmak salaf.

3. Kelompok yang memberlakukan teks dalil (tentang nama dan sifat) tidak sesuai dengan makna zahirnya, lantas mereka menentukan makna-maknanya menurut akal mereka, dan mereka melakukan tahriif (mengubah lafaz atau makna yang ada pada nash; teks ayat dan hadits) agar makna sesuai dengan ketetapan akal mereka.

Mereka adalah ahli ta’thiil (kelompok yang menolak nama dan sifat Allah), di antara mereka ada yang melakukan ta’thiil (penolakan) besar-besaran, seperti sekte Jahmiyyah, Mu’tazilah dan yang semislanya. Di antara mereka juga ada yang penolakannya tidak separah Jahmiyyah, seperti kelompok Asyaa’irah.

4. Kelompok yang mengatakan, “Allaahu a’lam (Allah Mahatahu) makna yang Dia kehendaki pada nash-nash (teks ayat/hadits) itu”. Mereka menyerahkan makna dari nash-nash itu kepada Allah semata.

Mereka adalah ahli tajhil (yang menyatakan bahwa makna dari nash Al-Quran dan hadits tentang sifat itu tidak diketahui) dan ahli tafwiidh (yang menyerahkan makna nash kepada Allah). Ini adalah kelompok yang paling buruk.

Semua kelompok ini, selain kelompok yang pertama, adalah kelompok yang sesat.

Bersambung insyaa Allah…

Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Syarah Al-‘Aqiidah Al-Waashithiyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Karya Syaikh Muhammad Bin Shaalih bin Utsaimin, yang diringkas oleh Abdullah bin Muhsin Ash-Shaa’idi dalam kitabnya: Taqriib wa Tahdziib Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waashithiyyah.