Adab Pelajar terhadap Gurunya
Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala, Dialah yang maha
sempurna dalam semua Nama dan Sifat-Nya, Dialah yang maha besar kasih
sayang-Nya, tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia,
hanya kepada-Nya kita beribadah dan hanya kepada-Nya kita meminta.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah guru untuk generasi terbaik, yakni para
shahabatnya radhiyallahu anhum, Guru terbaik untuk generasi terbaik.

Ilmu agama adalah kemuliaan bahkan karunia yang sangat agung, yang
didapatkan hanya dengan belajar, maka menempuh jalan dalam
mendapatkannya pun merupakan Taufik yang Allah berikan kepada orangorang yang dikehendaki baik oleh-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan kunci untuk segala
sesuatu, semisal kunci surga adalah Tauhid. Ilmu pun demikian, kunci ilmu
adalah Adab. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan kunci untuk segala
hal yang dicari,…..lalu beliau berkata:
  حُ س نُ السَّ ؤ الِ ، و حُ س ن اإلِص غ اءِ مِعِل اح ال ت مِف و
“Dan kunci ilmu adalah bertanya dengan baik dan mendengarkan dengan baik”1.

Selanjutnya dahulu para ulama mengatakan:

 ب دِ ا ل و م لِع ِ ال م يُ ت يِ م ي ت يِ ال ن َّ * 

إ دُه ِ ُ الوِ ات م د ق ي ذ ِ ال م َّ يُ ت يِ الس ي
“Sejatinya yatim bukanlah anak yang bapaknya meninggal, yatim
 sebenarnya adalah orang yang kehilangan Ilmu dan Adab”.

Diantara dasar yang mesti diketahui dan tentunya diamalkan adalah
Adab atau etika dalam menuntut ilmu, terutama Adab seorang murid kepada
gurunya yang semakin hari semakin luntur seiring dengan “Perkembangan”
zaman dan tekhnologi yang diiringi dengan merosotnya nilai-nilai akhlaq di
tengah-tengah masyarakat. Apa yang saya tulis ini hanya setetes usaha
dalam mengingatkan kita semua akan Adab yang sangat mulia yang
dengannya seorang Thalib (penuntut ilmu) mendapatkan kemuliaan,
sungguh pengingat itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

                                           Definisi Adab secara Bahasa dan Istilah

Diungkapkan dalam kitab Lisanul Arab:

” د عاةٌ وم أ دُ ب ةٌ ع نِ املق ابِح. وأ صل ا لد بِ الدُّ عاءُ، و مِن هُ قِيل للصَّ نِيع يُد ع ى إِ ل ي هِ الناسُ : م ا لد بُ : الَّذِ ي ي ت أدَّبُ بِهِ ال ديبُ مِ ن النَّاسِ ؛ سُ مِ ي أ د بًا ل نهي أ دِ بُ الناس إِ ل ى امل حامِ د،وي ن هاهم “

“ada adalah (akhlaq) yang dimiliki oleh seorang adib (orang yang berakhlaq), dinamakan Adab karena ia (Adab) mengajak manusia kepada halhal yang terpuji dan melarang mereka dari hal-hal yang buruk. Asal makna
dari kata Adab adalah ad-Du’a (mengajak), karena itu makanan yang dibuat
sebagai hidangan untuk orang lain disebut Mad’at dan Ma’dubah”2
.
Jadi secara bahasa adab itu artinya mengajak, sama artinya dengan
kata ad-Du’a atau ad-Dakwah. Adapun secara istilah adalah melakukan hal-hal terpuji dan meninggalkan hal-hal yang tercela atau akhlaq yang mulia,
dalam kitab Misbahul Munir dijelaskan jika saya mengatakan Addabtuhu
(تهْب َّأدَ/ aku mengajarkan Adab), maka artinya sama dengan:

النَّف سِ و م ح اسِ ن ال خ َل قِ ه رِي اض ة ع لَّم تُ
.“Saya mengajarkannya kelembutan hati dan akhlaq-akhlaq terpuji”

Abu Zaid al-Anshari berkata:

ال د بُ ي ق عُ ع ل ى كُلِ رِي اض ةٍ م ح مُ ود ةٍ ي ت خ رَّجُ بِ ها اإل ِ ن س انُ ِفي ف ض ِ يل ةٍ مِ ن ال ف ض ائِلِ
“Adab itu berlaku pada setiap akhlaq terpuji, yang dengannya seorang
 manusia memiliki kemuliaan diantara beragam kemuliaan”3.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
 ال د بُ اس تِع م الُ م ا يُح م دُ ق و ًل ً و فِع َل ً
 “Adab adalah menggunakan segala hal yang dipuji, baik berupaperkataan maupun perbuatan”4.

                                                                       —–&&&—–
Pentingnya Adab
Adab dalam arti akhlaq terpuji adalah hal terpenting dalam kehidupan
seorang muslim, bagaimana tidak sementara baginda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyempurnakan
akhlaq, Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam dipuji oleh Allah karena
ketinggian akhlaqnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِ نَّم ا بُعِث تُ ل ِ ُت م ِ م ص اِلح ال خ َل قِ
Hanyalah aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlaq yang  shalih”.5

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
 إَونَّكَ لَعََلَٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
(Al-Qalam [68]: 4)

Imam Abdullah Ibnul Mubarak berkata:
ن ح نُ إِ ل ى ق ِلي لٍ مِ ن ا لد بِ أح و جُ مِنَّا إِ ل ى ك ثِ يرٍ مِ ن ال عِل مِ
“Kami lebih membutuhkan sedikit Adab daripada banyak Ilmu”6

Beliau pun berkata:
 ًل ي ن بُلُ الرَّجُ لُ بِن و عٍ مِ ن ال عِل مِ م ا ل م يُز ي ِن عِ ل م هُ بِا لد بِ
“Seseorang itu tidak dianggap cerdas dengan ilmunya selama dia tidak
  menghiasi ilmunya itu dengan adab”7.

Al-Khatib membawakan cerita ketika menjelaskan biografi al-Imam alMuqri Abu Bakar bin Mujahid (wafat : 324 H) dari Muhammad bin Abdillah
bin al-Mathlab asy-Syaibani, beliau berkata:
Aku mendatangi Abu Bakar bin Mujahid untuk membaca di
hadapannya, lalu datanglah seseorang dengan jenggot yang lebat dan badan
yang tinggi menyerobotnya untuk membaca di hadpan beliau, lalu beliau
berkata: “Tenang wahai kekasihku, aku mendengar Muhammad bin jahm asSimari berkata, aku mendengar al-Farra berkata: “Ajarkan jiwamu untuk
beradab apalagi dalam belajar !”8

Lalu ilmu yang bermanfaat itu akan didapatkan oleh seseorang yang
mendapatkannya dengan penuh Adab, karena dengan Adab seseorang akan
terbiasa dengan kekhusyuan, dengan Adab pula seseorang akan berusaha
secara tenang untuk mengamalkan ilmunya, dan dengannya pula diharapan
muncul rasa takut kepada Allah, yang merupakan inti daripada ilmu itu sendiri.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

الدُّ ن ي ا و اْل خِ ر ةِ بِمِث لِ ال د بِ ، و ًل اس تُج ِلب حِ ر م انُُهم ا بِمِث لِ قِلَّةِ ال د بِ ف م ا اس تُج ِلب خ يرُ و ف َل حِ هِ . و قِلَّةُ أ د بِهِ : عُن و انُ ش ق او تِهِ و ب و ارِهِ . و أ د بُ امل ر ءِ : عُن و انُ س ع اد تِهِ
“Dan Adab seseorang adalah tanda kebahagiaan dan
keberuntungannya, adapun sedikitnya Adab adalah tanda kesengsaraan dan
kerugiannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat didapatkan sebagaimana
(didapatkan) dengan Adab, dan tidaklah kebaikan dunia dan akhirat
terhalang sebagaimana terhalang dengan sedikitnya Adab”9.

Diantara perkara yang menunjukan pentingnya Adab, bahwa Adab
mesti dimiliki oleh seorang penuntut ilmu sebelum dia belajar ilmu-ilmu
lainnya, karena Adab itu memudahkan seseorang dalam mendapatkan ilmu
dan mengamalkannya.
Imam Malik bin Anas berkata kepada seseorang dari Quraisy:

  م ل ع ِ ال م ل عَّ ت ت ن ل أ ب تعلَّمِ الدب ق ن أخي ا ب ي
   “Wahai Anak Saudaraku! belajarlah Adab sebelum engkau
      mempelajari ilmu”10
.
Dengan Adab seorang murid memiliki hubungan yang baik dengan
gurunya sementara syarat berhasil dalam menuntut ilmu adalah adanya guru
dan hubungan yang baik dengannya.
                                                               —–&&&—–

Pembagian Adab
Secara umum Adab atau akhlaq itu terbagi menjadi dua, ada yang
sifatnya pembawaan (Thabi’i) ada juga yang diusahakan (Kasby).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mundzir al-Asyaj:

يُحِ بُُّهم ا اللَّهُ و ر سُ ولُهُ ل ي ِهم ا «. ق ال ال ح م دُ لِ لَّهِ الَّذِ ى ج ب ل نِ ى ع ل ى خ لَّت ينِ ج ب ل نِ ى ع ل ي هِم ا ق ال » ب لِ اللَّهُ ج ب ل ك ع اللَّهُ إِنَّ فِيك خ لَّت ي نِ يُحِ بُُّهم ا اللَّهُ ال حِ ل مُ و ا لن اُة «. ق ال ي ا ر سُ ول اللَّهِ أ ن ا أ ت خ لَّقُ بِِهم ا أ مِ

“Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang dicintai oleh Allah,
  yakni Santun dan Anah (tidak tergesa-gesa)”.

Dia bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah aku yang berusaha demikian atau Allah yang meciptakan
aku seperti itu ?” jawab Nabi: “Allah lah yang menciptakanmu demikian”, lalu
dia berkata: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakanku dengan
dua sifat yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya”11
.
                                                                 —–&&&—–

Adab para Nabi alaihimus shalatu was salaam
Dalam hal ini saya akan membawakan sebagian dari kisah Nabi Musa
dengan Khidir sebagaimana dalam surat al-Kahfi, Allah subhanahu wa ta’ala
menceritakan Nabi Musa, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

  قَالَ َلَُۥ مُوَس َ ٰ هَلۡ َأتَّبِعُكَ لَع ََٰٓ أَن تُعَل ِمَنِ مِمَّا عُل ِمۡتَ رُشۡ دٗ ا
   Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya 
   kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
   diajarkan kepadamu?” (Al-Kahfi [18]: 66)

Ar-Razi dalam Tafsirnya berkata: “Ketahuilah bahwa ayat-ayat di atas

menunjukan, bahwa Musa ‘alaihis salaam menjaga beragam Adab dan

kelembutan ketika hendak belajar kepada Khidir:

 

Pertama, Musa menjadikan dirinya sebagai pengikut Khidir, karena dia

berkata: “Bolehkah aku mengikutimu”.

 

Kedua, Musa memohon izin kepada Khidir untuk menjadi

pengikutnya, Musa berkata: “Bolehkah….”, ini menunjukan ketawaduan dan

penghormatan Musa kepada Khidir.

 

Ketiga, Musa berkata: “Kamu mengajarkan kepadaku ilmu”, ini

pengakuan atas diri akan kebodohan dan penetapan bahwa gurunya

berilmu.

 

Keempat, Musa berkata: “Di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan

kepadamu”, Musa meminta sebagian dari ilmu yang diajarkan oleh Allah

kepada Khidir. Kalimat ini pun menunjukan ketawadhuan Musa, seolah-olah

dia berkata: “Aku tidak meminta kepadamu agar aku sejajar denganmu

dalam ilmu, akan tetapi aku hanya meminta sebagian dari ilmu yang telah

Allah berikan kepadamu”, hal itu sebagaiman seorang faqir meminta kepada

orang kaya sebagian dari hartanya.

 

Kelima, Musa berkata: “Yang telah diajarkan kepadamu”, ini

menunjukan bahwa Musa mengakui bahwa Allah lah yang telah memberikan

ilmu kepada Khidir.

 

Keenam, kalimat (رشدا) yang artinya petunjuk (ilmu yang benar), hal itu

menunjukan bahwa Musa meminta petunjuk, dan petunjuk ini adalah

sesuatu yang jika tidak ada pada diri seseorang maka dia akan tersesat.

 

Ketujuh, Musa berkata: “Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu

yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”, maknanya

Musa meminta kepada Khidir agar memperlakukannya sebagaimana Allah

memperlakukan Khidir, dalam arti lain “Pemberianmu kepadaku dalam

bentuk ilmu adalah sebagaimana Allah telah memberikan kepadamu Ilmu”,

walhasil serupa dengan sebuah ungkapan “Aku adalah hamba bagi orang

yang telah mengajarkanku walaupun satu huruf”

 

Kedelapan, Mutaba’ah maknanya adalah melakukan perbuatan orang

yang kita ikuti karena hal itu adalah perbuatannya. Misalnya, ketika kita

mengatakan Laa Ilaha Illallah (tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan

benar kecuali Allah), dan Umat Yahudi sebelum kita pun mengucapkan

kalimat tersebut, maka itu tidak berarti kita mengikuti kaum Yahudi, hal itu

karena kita mengucapkannya bukan karena kaum Yahudi mengucapkannya,

akan tetapi karena adanya dalil wajib mengucapkannya. Adapun ketika kita

melakukan shalat yang lima sesuai dengan perbuatan Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam, ketika itu kita melakukannya karena Rasulullah pun

melakukannya demikian, tentu ini artinya kita mengikuti Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat-shalat tersebut. Jika hal itu telah

difahami, maka saya katakan, kalimat “Bolehkah aku mengikutimu”

menunjukan, bahwa seorang murid melakukan perbuatan yang serupa

dengan gurunya semata-mata karena itulah perbuatan gurunya, dan ini

memberikan faidah seorang murid – di awal perjalanannya – mesti benar

benar menyerahkan diri kepada (gurunya), tidak membantah dan

menentangnya.

 

Kesembilan, kalimat “Bolehkah aku mengikutimu”, mengikuti di sini

bersifat mutlaq dalam segala perkara tanpa dibatasi dalam masalah tertentu.

 

Kesepuluh, Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat, Khidir

sebelumnya telah mengetahui, bahwa Musa adalah Nabi di kalangan Bani

Israil, ia adalah Musa yang diberikan Taurat, dialah yang diajak bicara

langsung oleh Allah ‘azza wa jalla tanpa pelantara, bahkan diberikan

keistimewaan dengan beragam mukjizat besar, kemudian kendati

kedudukan yang begitu tinggi dan mulia, Musa tetap menampakan

ketawaduannya di hadapan Khidir. Hal itu karena semakin orang itu berilmu

maka ia pun semakin tahu kebahagiaan dan kegemilangan yang ada di

dalamnya, akhirnya dia pun akan semakin semangat dalam mencarinya dan

semakin menghormati ahli ilmu.

 

Kesebelas, Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu

mengajarkan kepadaku ilmu”, jadi Musa pada awalnya menetapkan dirinya

sebagai pengikut Khidir, selanjutnya meminta kepada Khidir agar dia

mengajarkan ilmu kepada Musa, artinya pertama kali dia menyiapkan diri

untuk berkhidmat kepada Khidir, dan kedua meminta ilmu kepadanya.

Kedua belas, Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu”, Musa hanya meminta ilmu, dia tidak meminta
apapun selainnya, dia tidak mengharapkan harta, kedudukan atau tujuantujuan lainnya.
Demikian sebelas faidah tentang Adab seorang penuntut ilmu kepada
gurunya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa di hadapan Khidir.

                                                                      —&&&—

Adab para Shahabat dengan Shabat-Shahabat lainnya
Para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baiknya
manusia setelah para Nabi, mereka pun generasi terbaik dari umat baginda
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
 خَ ْيرُ النَّاسِ قَ رْنِي ثُمَّ الَّذِ ينَ يَلُونَُهمْ ثُمَّ الَّذِ ينَ يَلُونَُهمْ
  “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang hidup di zamanku,
 kemudian mereka yang hidup setelahnya, kemudian mereka yang hidup
  setelahnya”12
.
Dalam hal ini ada kisah yang sangat menarik dari seorang shahabat
mulia Abdullah bin Abbas, beliau adalah putra dari paman baginda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah membawakan
perkataan al-Baihaqi dengan sanadnya sampai kepada Ikrimah, dari Abdullah
bin Abbas, Abdullah bin Abbas berkata:
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, aku berkata
kepada seseorang dari kalangan Anshar “Ayo kita datangi para Shahabat
Rasulullah, karena mereka saat ini masih banyak !” lalu orang itu berkata:
“Kamu memang aneh wahai Ibnu Abbas ! apakah kau menduga bahwa
manusia akan membutuhkanmu sementara diantara mereka adalah
pembesar para shahabat Rasulullah”. 

Akhirnya Abdullah bin Abbas pun meninggalkan orang itu, beliau berkata:

“Aku pun bertanya kepada para
shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ada hadits yang datang
kepadaku yang bersumber dari seseorang, maka aku pun mendatangi pintu
rumahnya walaupun dia sedang Qailulah, aku menjadikan selendangku
sebagai bantal sementara angin menyapu debu mengenai badanku, lalu ia
pun keluar dan melihatku, ia berkata: “Wahai putra paman Rasulullah, apa
yang menjadikanmu datang ke sini? Kenapa tidak kau utus seseorang
sehingga aku yang mendatangimu ?” aku pun berkata: “Aku yang semestinya
datang kepadamu”. Beliau melanjutkan: “Aku pun bertanya kepadanya
tentang hadits”, orang Anshar tersebut hidup sehingga dia melihat bahwa
manusia telah mengelilingiku bertanya kepadaku (tentang ilmu), lalu ia
berkata: “Pemuda ini lebih cerdas akalnya daripada aku”.


Ibnu Katsir pun membawakan riwayat lain, bahwa Abdullah bin Abbas
pernah berkata:

“Sungguh seringkali aku tidur di puntu rumah mereka, seandainya aku
meminta untuk diizinkan masuk niscaya mereka akan mengizinkannya, akan
tetapi aku mencari (ilmu) dengan kesenangan hatinya”13
.
Karena itulah Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu pernah berkata:

 بًاو ل طُ م ت ز ُ ز ع البًا ف ط ت ل ُ ل ذ
 “Aku hina ketika mencari (ilmu), dan aku mulia ketika dicari (karena ilmu)”14
.
Sering saya katakan di Pesantren, bahwa segala hal yang ada di
dalamnya adalah bagian dari kurikulum; makanan yang sederhana, fasilitas
yang terbatas dan segalanya perlu dicermati sebagai bagian dari
pembelajaran. Hina dengan segala keterbatasan, yang pada akhirnya mulia
dengan ilmu dan beragam kemampuan.


Demikian pula tentunya hina di hadapan guru karena kemuliaan
ilmunya sebagaimana dicontohkan oleh Abdullah bin Abbas, padahal beliau
adalah putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Adab beliau

ini menjadi contoh bagi ulama-ulama yang ada setelahnya, diantara mereka
adalah:
                   1. Al-Imam al-Kabir Abu Ubaid al-Qasim bin Salam at-Turki al-Bagdadi,
 beliau berkata:

“Aku mendapatkan (kebesaran) ilmu, sungguh aku tidak pernah
meminta izin (baca: mengetuk pintu rumah) seorang pun diantara guru, akan
tetapi aku bersabar sampai beliau keluar, hal itu dalam rangka mengamalkan
firman Allah subhanahu wa ta’ala:

 بَُواْ حََّت َّ ٰ َتَۡرُجَ إَِلَۡهِمۡ لََكَ نَ خَۡيۡٗا لَّهُمۡۚۡ وَٱَّلل َُّ غَفُورٞ رَّحِيٞم وَلَوۡ َأنَّهُمۡ صَ
“Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui
    mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha
        Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hujurat [49]: 5)

2. Al-Allamah al-Alusi:

Ketika beliau menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam
surat al-Hujurat di atas, beliau bercerita bahwa ketika kecil aku mendengar
cerita, bahwa Abdullah bin Abbas pergi kepada Ubay bin Ka’ab untuk belajar
al-Qur’an kepadanya, Abdullah bin Abbas hanya menunggu di dekat pintu
tanpa mengetuk pintu rumah sehingga Ubay bin Ka’aab keluar, suatu hari
Ubay bin Ka’ab bertanya kepadanya: “Kenapa engkau tidak mengetuk pintu
saja wahai Ibnu Abbas?” lalu jawaban beliau: “Seorang alim di kalangan
kaumnya adalah seperti Nabi diantara umatnya, dan Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman: 

رُجَ إَِلَۡهِمۡ لََكَ نَ خَۡيۡٗا لَّهُمۡۚۡ وَلَوۡ َأنَّهُمۡ صَ َبَُواْ حََّت َّ ٰ َتَۡ 

Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui” mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka”. (Al-Hujurat [49]: 5)

Al-Alusi melanjutkan: “Aku telah membaca kisah ini semenjak kecil,
lalu aku pun mengamalkannya bersama guru-guruku dan segala puji hanya
milik Allah”15
.
Demikianlah mereka memuliakan para ahli ilmu sehingga keberkahan
itu mereka dapatkan. Sungguh seorang murid lebih butuh dalam
memuliakan gurunya daripada seorang guru atas pemuliaan muridnya.

                                                                 —–&&&—–

Guru adalah orang tua:

Guru adalah orang tua bagi murid-muridnya, sehingga seyogayanya
mereka memperlakukan guru mereka sebagaimana mereka memperlakukan
orang tua mereka bahkan lebih, karena apa yang diberikan oleh guru adalah
jauh lebih mulia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طِ ب بِي مِينِهِ ي س ت د بِر ه ا و ًل ي س ت و ًل إِ نَّم ا أ ن ا ل كُ م بِم ن زِل ةِ ال و اِلدِ ُأع لِ مُ كُ م ف إِذ ا أت ى أح دُكُ مُ ال غ ائِط ف َل ي س ت ق بِلِ ال قِ ب ل ة

“Sungguh aku bagi kalian seperti orang tua, akulah yang mengajarkan
kalian; jika salah seorang diantara kalian hendak buang hajat maka janganlah
ia menghadap Kiblat, tidak pula membelakanginya, dan janganlah dia
beristinja dengan tangan kanan”16
.
Syaikh Muqbil membawakan hadits di atas dan sebelumnya
mencantumkan bab dengan judul “Guru itu seperti orang Tua”17
.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Dan mentaati mereka (guru) lebih wajib daripada mentaati Ibu dan
Bapak, hal itu berdasarkan dalil al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman           

 :يََٰٓأيُّهَا ٱَّلَّ ِينَ َءامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱَّلل ََّ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوِْلِ ٱۡل ۡ َمۡرِ مِنكُ مۡۖۡ                                                                   “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)
   dan ulil amri di antara kamu”. (An-Nisa [4]: 59)18


Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:
“Dan hal ini – yaitu menyebutkan guru dan silsilah mereka – termasuk
tuntutan yang penting dan perkara yang sangat berharga, yang mesti
diketahui oleh seorang Faqih dan yang belajar Fiqih, dan dianggap buruk
bodoh akan hal itu, karena sungguh guru-gurunya dalam ilmu (agama)
adalah orang tua baginya dalam agama….19

Al-Asfahani meriwayatkan: Iskandar ditanya, “Kenapa kamu lebih
mengagungkan bapakmu daripada orang tuamu ?” jawabnya: “Karena
bapakku adalah sebab kehidupanku yang fana, sementara guruku adalah
sebab kehidupanku yang kekal”20
.
Yahya bin Mua’ad ar-Razi berkata:
 العُ
نْمِ ْ- صلى هللا عليه وسلم ْ ْ- ْد مَّحَ أرأفُ بأمَّةِ مُ
مْهِائِ آبَ
ه ْ نَُّ ؛ ل ِ َ مْهِاتِهَمَّوُأ ْ
ها َاتِ آفَ ا وَ يَنْ الد نَمِمْهنَُوْظُفحَ ي ْ م َ ه ْ ُاتُ مَّهَ وُأ م َ ه ْ ُ اؤُ آبَ ا، وَ هَ الِوَهْوَأ َةِرَ اآلخِ ارِ نَنْمِ م ْ ه ْ نُوَظ ْ ُفحَ ي ْ م


“Para ulama lebih sayang terhadap umat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam daripada bapak dan ibu mereka, karena para ulama
menjaga mereka dari api dan kegoncangan di akhirat, sementara bapak dan
ibu mereka menjaga mereka dari dunia dan segala penyakitnya21”.

Karena itu kita dapati para ulama sangat menghormati dan
mengagungkan guru-guru mereka melebihi penghormatan mereka kepada
orang tua mereka sendiri, misalnya:

Al-Muwaffaq al-Khawarizmi berkata: diriwayatkan tentang Abu
Hanifah, beliau berkata:

“Tidak pernah aku menyelonjorkan kedua kakiku ke arah rumah
guruku Hammad karena memuliakannya, padahal jarak antara rumahku
dengan rumahnya di batasi dengan tujuh gang”.22 Diriwayatkan pula
tentangnya, bahwa Imam abu Hanifah pernah berkata: “Setelah wafatnya
Hammad, aku tidak pernah shalat kecuali aku pun memohon ampunan
kepada Allah untuknya beserta do’aku untuk kedua orang tuaku. Sungguh
aku memohon ampuna kepada Allah kepada setiap orang yang
mengajarkanku dan setiap orang yang aku ajarkan kepadanya ilmu”23
.
Diungkapkan dalam sebuah syair:

ه ـمِ ل ق ــد ح ــقَّ أ ن يُ ه ـد ى إِ ل ي ـهِ ك ر ام ـةً *** لِت ع ِلي ــمِ ح ـر فٍ و احِ ـدٍ أ ل ـفُ دِ ر ر أ ي ـُـت أ ح ــقَّ ال ح ــقِ ح ــقُّ امل ُع لِ ـِـــــــــــم *** و أ و ج ب ــهُ حِ ف ظًـا ع ل ـى كُ ـل ِ مُ س ـِلمِ

“Aku melihat bahwa diantara hak paling besar adalah hak seorang
guru, ialah hak paling wajib dijaga atas setiap muslim”.

“Seorang guru berhak untuk diberikan hadiah sebagai kemuliaan,
untuk satu hurufnya seribu dirham”24
.
                                                                          —&&&—

Mentaati Guru:

Diantara hak seorang guru adalah ditaati, bahkan sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim, bahwa hak mereka lebih besar daripada
hak orang tua dalam hal ini:

“Dan mentaati mereka (para guru) lebih wajib daripada mentaati Ibu
dan Bapak, hal itu berdasarkan dalil al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:

  يََٰٓأيُّهَا ٱَّلَّ ِينَ َءامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱَّلل ََّ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوِْلِ ٱۡل ۡ َمۡرِ مِنكُ مۡۖۡ

    “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya” 
       dan ulil amri di antara kamu”. (An-Nisa [4]: 59)25

Kemudian yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Ulama dan Umara,
hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
Majmu’ul Fatawa (28/ 170), kemudian jika seluruh kaum muslimin
diwajibkan untuk mentaati para ulama, maka apalagi seorang murid atau
santri diwajibkan untuk mentaati gurunya, karena hak-hak mereka yang
sangat banyak26
.
Akan tetapi – tentunya – semua itu dibatasi atau tidak bersifat mutlak,
yakni selama perintahnya tidak mengandung unsur maksiat kepada Allah
subhanahu wa ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ل ط اع ة ملِ خ لُوقٍ ِفي م ع ص ِ ي ةِ ِهللا ع زَّ و ج لَّ

 ً “Tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam perkara yang mengandungmaksiat kepada

  Allah ‘azza wa jalla”

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata:
“Dan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk taat kepada
Ulil Amri, mereka adalah orang-orang yang mengurusi manusia, yakni
penguasa dan para ulama yang memberikan fatwa, sungguh tidak adakan
lurus urusan manusia dalam agama dan dunia mereka kecuali dengan
mentaati dan tunduk kepada mereka dengan niat taat kepada Allah dan
berharap apa yang ada di sisinya, tentunya semua itu dengan syarat selama
mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, jika mereka
memerintahkan untuk maksiat kepada-Nya maka tidak ada ketaatan kepada
mahluk”28
.
                                                                   —&&&—

Murid senantiasa bersyukur (berterima kasih) kepada Gurunya:

Pada asalnya setiap manusia diwajibkan berterima kasih kepada siapa
saja yang telah berbuat baik kepadanya, karena bagaimana bisa seseorang
itu bersyukur kepada Allah jika dia tidak berterima kasih kepada manusia,
dalam hal ini baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ل ي ش كُ رُ اللَّه م ن ًل ي ش كُ رُ النَّاس

 “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, bagaimana ia
  mampu bersyukur kepada Allah”29
.
Syaikh Muqbil dalam kitabnya al-Jami ash-Shahih membuat judul bab
dalam kitabul ilmi (Bersyukurnya seorang murid kepada guru, diantaranya
adalah memujinya sesuai dengan haknya), lalu beliau membawakan hadits
di atas.

Hadits di atas bersifat umum, bahwa kita mesti berterima kasih

kepada manusia atas kebaikannya, apalagi jika kebaikan yang kita dapatkan

darinya adalah ilmu, yang dengannya kita mengenal Allah subhanahu wa

ta’ala, mengenal agama Islam dan mengenal baginda Nabi Muhammad

shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Kita berterima kasih kepada seorang guru, minimal dengan

mengatakan Jazakumullah khairan, berterima kasih kepadanya dengan

selalalu mendo’akannya, dengan selalu membantunya, juga dengan

mengakui keutamaan dan kebaikannya atas kita.

 

Sungguh, sangat disayangkan banyak didapati murid-murid yang

jangankan berterima kasih, mengingatnya pun tidak, dia tidak pernah

menanyakan bagaimana keadaan gurunya? bahkan menyapa pun tidak

ketika berjumpa. Lalu bagaimana murid seperti itu bisa mendapatkan

keberkahan ilmu. Allahul Musta’an.

 

Bagaimana seorang murid tidak berterima kasih kepada gurunya,

sementara dia berusaha untuk memperbaiki muridnya dengan senantiasa

mengajak agar menghiasi diri dengan keutamaan dan membersihkan diri dari

segala keburukan ?! bahkan terkadang, jika mampu dia memberikan

manfaat dengan hartanya setelah dia memberikan manfaat dengan ilmunya,

yang ilmu itu jauh lebih berharga daripada dunia. Kendati demikian, anda

akan dapati murid-murid yang sangat tercela, dia tidak berterima kasih

kepada gurunya, bahkan mencela dan merendahkannya…..30

Sungguh kebaikan seorang guru tidak akan pernah terbayar dengan

dunia atau harta yang kita berikan kepadanya, kalaupun kita

memberikannya.

                                                                        —&&&—