KAIDAH KEDUA: BERPEGANG TEGUH DI ATAS MANHAJ DAN JALAN YANG LURUS

Oleh: Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr

Untuk mengetahui makna hakikat istiqamah maka kita cukupkan dari nukilan-nukilan yang penuh barokah, yaitu dari perkataan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik yaitu kalangan tabi’in ketika mereka menjelaskan makna dan hakikat istiqamah.

Manusia terjujur pada ummat ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq semoga Allah meridhoinya ketika menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا … (30)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka)….” (QS. Fushilat [41]: 30)

Berkata:

هُمُ الَّذِيْنَ لَمْ يُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا

“Mereka adalah orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apapun.”1

Telah diriwayatkan dari sahabat ‘Umar bin Khattab semoga Allah meridhoinya ketika beliau membacakan ayat ini:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا … (30)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:’Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka)….” (QS. Fushilat [41]: 30)

diatas mimbarnya kemudian beliau berkata:

لَمْ يَرُوْغُوْا رَوَاغَانَ الثَّعْلَبِ

“Mereka bukanlah orang yang mengaum seperti mengaumnya serigala”2

Dari sahabat Ibnu Abbas semoga Allah meridhoi keduanya ketika beliau menafsirkan ayat

ثُمَّ اسْتَقَامُوْا … (30)

“kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka)….” (QS. Fushilat [41]: 30)

Berkata:

عَلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Diatas persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah.”

Diriwayatkan pula perkataan yang senada dari sahabat Anas, Mujahid, Al-Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam, As-Suddiy, Ikrimah dan yang lainnya.3

Dan diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas semoga Allah meridhoi kepada keduanya bahwasanya beliau berkata:

إِسْتَقَامُوْا عَلَى أَدَاءِ فَرَائِضِهِ

“Mereka istiqamah didalam menjalankan konsekuansinya.”4

Dan dari Abul ‘Aliyah beliau berkata:

ثُمَّ أَخْلَصُوْا لَهُ الدِّيْنَ وَالْعَمَلَ

“Kemudian mereka mengikhlashkan agama ini hanya untuk Allah dan amalannya.”5

Dan dari Qotadah ketika beliau mentafsirkan ayat

ثُمَّ اسْتَقَامُوْا … (30)

“Kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka)….” (QS. Fushilat [41]: 30)

Berkata:

إِسْتَقَامُوْا عَلَى طَاعَةِ اللهِ

“Mereka istiqamah diatas ketaatan kepada Allah.”6

Perkataan-perkataan diatas telah disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jaami’ul ‘Ulum Walhikam7 kemudian beliau mendefinisikan makna istiqamah dengan perkataan:

هِيَ سُلُوْكُ الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ, وَهُوَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ مِنْ غَيْرِ تَعْرِيْجٍ عَنْهُ يَمْنَةً وَلَا يَسْرَةً, وَيَشْمَلُ ذَلِكَ فِعْلَ الطَّاعَاتِ كُلِّهَا, الظَّاهِرَةَ وَالْبَاطِنَةَ, وَتَرْكَ الْمَنْهِيَّاتِ كُلِّهَا كَذَلِكَ, فَصَارَتْ هَذِهِ الْوَصِيَّةُ جَامِعَةً لِخِصَالِ الدِّيْنِ كُلَّهُ.

“Istiqamah itu adalah berpegang teguh diatas jalan shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu agama yang lurus yang tidak bengkok kekanan maupun kekiri, yang mencakup semua amalan ketaatan baik yang dzohir atau yang bathin, serta meninggalkan semua larangan. Sehingga istiqamah itu merupakan wasiat yang menyeluruh dan mencakup semua bagian agama.”8

Semua penafsiran tentang istiqamah ini maknanya saling berdekatan bahkan saling menafsirkan antara perkataan satu dengan yang lainnya, karena istiqamah itu sendiri diambil dari bentuk kalimat yang mencakup semua bagian agama.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

فَالْإِسْتِقَامَةُ كَلِمَةٌ جَامِعَةٌ آخِذَةٌ بِجَامِعِ الدِّيْنِ, وَهِيَ الْقِيَامُ بَيْنَ يَدَيْ اللهِ عَلَى حَقِيْقَةِ الصِّدْقِ وَالْوَفَاءِ بِالْعَهْدِ

“Istiqamah adalah kalimat yang mencakup semua bagian agama, yaitu berdiri dihadapan Allah dengan kejujuran yang hakiki dan memenuhi semua janji.”9

Bersambung in syaa Allah…

Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Ainun Wahidin, Lc. dari kitab:
‘Asyru Qawaa’id Fil Istiqaamah, Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr


Footnote

[1] Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya pada jilid ke 21 halaman 464, pustaka Muassasah Arrisalah

[2] Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya pada jilid ke 21 halaman 465

[3] Lihat tafsir Ath-Thabari jilid ke 21 pada halaman 464-465 pustaka Muassasah Arrisalah

[4] Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya pada jilid ke 21 halaman 465

[5] Dibawakan oleh Imam Almawardi dalam kitab An-Nukat Wal ‘uyun pada jilid ke 5 halaman 275

[6] Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam kitab Al-Mushannaf halaman 2618

[7] Halaman 383-384

[8] Halaman 385

[9] Madarijus salikin jilid 2 halaman 105