Ketentuan Yang Harus Dijaga Berkenaan Dengan Kritik Terhadap Individu Dan Kelompok

Oleh: Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi

Ketentuan-ketentuan (kaidah) yang harus diperhatikan, berkenaan dengan individu dan kelompok

Ketentuan-ketentuan1 ini mengatur siapa saja orang yang wajib untuk dimuliakan, sehingga kehormatannya tidak boleh dijatuhkan, dan mengatur siapa-siapa yang boleh bahkan wajib untuk dikupas dan dikritik, ketika ada kebutuhan dan maslahat tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka.

A. Orang-orang yang wajib untuk dimuliakan:

1. Para Rasul dan para Nabi -semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada mereka semua-.

2. Para Sahabat yang mulia -semoga Allah meridai mereka semua-. Umat hanya boleh mencintai dan memuliakan mereka, karena Allah telah memuliakan mereka di dalam kitab-Nya dengan pujian yang baik, Dia telah menuturkan kedudukan dan perjuangan, serta pengorbanan mereka dengan harta dan nyawa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memuji mereka dengan pujian yang patut, baik secara individu maupun kolektif (kelompok). Para Imam-Imam Islam pun menaruh perhatian terhadap keutamaan dan kemuliaan mereka. Para Imam-Imam itu bahkan menulis banyak kitab tentang keutamaan dan kebaikan-kebaikan para Sabahat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mencela para Sahabat, beliau bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencela para sahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat setara dengan satu mud infak mereka dan tidak juga setengahnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).


Ahlussunnah wal Jama’ah telah mengetahui kedudukan para Sahabat, mereka pun sangat menjaga kemulian para Sahabat, mereka melarang memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara ‘Ali dan Mu’awiyah dan para Sahabat lainnya yang turut terlibat bersama mereka berdua. Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa para Sahabat itu mendapatkan pahala para mujtahid (ahli ijtihad), mereka juga menetapkan bahwa siapa saja yang menggunjingkan para Sahabat atau salah seorang dari mereka, maka dia adalah orang yang menyimpang dan zindik (munafik, sesat).

3. Orang-orang yang meneladani para Sahabat dari kalangan Tabi’in yang berjumpa dengan mereka dan mengikuti petunjuk mereka, seperti 7 fukaha (Ulama) madinah dan Ulama lainnya yang mengikuti manhaj mereka di seluruh dunia. Berikutnya adalah para Imam-Imam ahli hadits, ahli fikih dan ahli tafsir yang mengikuti jejak para Sahabat dan Tabi’in yang mulia, serta semua orang yang berada di atas manhaj mereka dalam akidah, dalam berpedoman kepada kitab dan sunnah, dalam meninggalkan bida’h, hawa nafsu beserta menjauhi para ahlinya. Dan yang mengikuti manhaj mereka dalam membela kebenaran dan membela para penganutnya hingga hari ini dan seterusnya sampai datang hari kiamat.

Merekalah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Akan senantiasa ada sebagian kelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran, siapa yang tidak menolong dan siapa yang menyelisihi tidak akan bermudarat bagi mereka sampai datang urusan Allah (hari kiamat).”

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah berkata tentang mereka:

“Siapa yang diketahui tergelincir dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tidak boleh disebut dengan maksud mencela dan mengecapnya sebagai pendosa, karena Allah mengampuni dosa-dosanya. Akan tetapi yang wajib adalah menolongnya, mencintainya dan memenuhi hak-haknya yang Allah wajibkan untuk ditunaikan, baik berupa pujian, doa dan lain sebagainya, disebabkan karena keimanan dan takwaan yang ada pada dirinya.” (Majmuu’ Al-Fataawa (28/234)).

B. Orang-orang yang boleh dikritik, disebut kecacatan-kecacatannya dan dijelaskan kepada masyarakat agar mewaspadai bahaya mereka:

1. Boleh, bahkan wajib membicarakan ahli bid’ah dan mengingatkan masyarakat agar mewaspadai mereka dan bid’ah-bid’ahnya, baik sebagai individu maupun kelompok, baik yang telah wafat maupun yang masih hidup, dari kalangan: Khawaarij, Rawaafidh, Jahmiyyah, Murji-ah, Karraamiyyah dan ahli kalam yang akidahnya rusak disebabkan ilmu kalamnya, contoh kesesatan mereka dalam akidah adalah: menolak sifat-sifat Allah atau menolak sebagian sifat-Nya. Maka masyarakat harus diingatkan agar mewaspadai mereka dan kitab-kitabnya.

Masyarakat juga perlu diberikan peringatan agar menjauhi orang-orang yang mengikuti manhaj mereka (ahli bid’ah); dari kalangan kelompok-kelompok, jemaah-jemaah masa kini yang menyelisihi ahli tauhid dan meninggalkannya, menjauhi manhajnya; bahkan memerangi dan mengajak orang-orang agar membenci manhaj itu dan membenci orang-orang yang berada di atasnya.

Begitu pula orang yang menolong, membela dan menyebut-nyebut kebaikan ahli bid’ah, maka digolongkan bersama para ahli bid’ah itu, demikian pula halnya orang yang menyanjung kebaikan-kebaikan ahli bid’ah dan menyanjung kepribadian mereka serta memuji para tokohnya2, terkadang orang ini lebih mengutamakan manhaj para ahli bid’ah daripada manhaj ahli tauhid dan manhaj ahlussunnah wal jama’ah.

2. Para perawi hadits dan syawaahid(bentuk jamak dari Syaahid: penguat, pendukung) jika mereka memiliki cacat, maka boleh menyebutkan kecacatan-kecacatannya, berdasarkan ijmak kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib. Hal itu dikatakan dan disampaikan oleh An-Nawawi dan ibnu Taimiyyah -rahimahumallah-. (lihat Majmuu’ Al-Fataawaa (28/234))

Orang yang meneliti apa yang dilakukan oleh para Imam Islam dalam membela agama ini -yang di antara bentuk pembelaan itu adalah membantah para ahli bid’ah- niscaya dia akan mendapati bahwa para Imam itu membicarakan ahli bid’ah dan para perawi hadits. Mereka tidak menyatakan perlunya muwaazanah (seimbang) dalam menyebut kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan ahli bid’ah.

Mereka menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta’diil, kitab-kitab untuk membela sunnah, kitab-kitab untuk membantah ahli bid’ah dan sekte-sektenya, dan kitab-kitab tentang hadits-hadits maudhu’ (palsu). Namun mereka tidak mengharuskan adanya muwaazanah, baik saat ini maupun di masa lampau. (lihat Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah Fii Naqdir Rijaal Wal Kutub Wath Thawaa-if, (hal. 32). Penulis -hafizhahullah- telah menyebutkan contoh-contoh untuk itu, seperti pada halaman 33 dan 34).

Orang yang mencermati kitab-kitab para Imam salaf; ia akan menemukan peringatan dari mereka terhadap bid’ah dan pelakunya, ia tidak akan menemukan dalam kitab-kitab itu bahwa para Imam salaf tidak menyebut seseorang dari ahli bid’ah keculia bila disertai dengan menyebut kebaikan-kebaikannya di samping menyebut keburukan-keburukan dan bid’ahnya. Tidak demikian, akan tetapi mereka hanya menyebut kecacatan-kecacatan kitab, jemaah atau individu tanpa melirik kepada kebaikan-kebaikan yang ada.

Lihatlah tulisan Imam Ahmad, putranya, Abdullah dan tulisan Al-Bukhari pada pembahasan Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, juga tulisan Al-Khallaal dan ibnu Khuzaimah dalam kitab As-Sunnah dan At-Tauhiid.

Lihatlah pula tulisan ibnu Baththah dalama kitab Asy-Syarhu dan Al-Ibaanah, Al-Laalakaa-i dalam kitab Syarhu I’tiqaad Ushuul Ahlis Sunnah, Al-Baghawi dalam Muqaddimah Syarhis Sunnah. Dapat dilihat pula dalam Muqaddimah ibni Maajah, As-Sunnah karya Abu Daawuud dalam kitabnya, As-Sunan, dalam kitab Al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, karya Abul Qaasim At-Taimi Al-Ashbahaani. Lihat juga karya-karya Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Perhatikanlah pendirian dan sikap mereka terhadap ahli bid’ah. (lihat rujukan terdahulu (hal. 70)).

Aku katakan: sesungguhnya para Ulama telah membantah kelompok-kelompok pelaku bid’ah, mereka telah membantah Rawaafidh, Qadariyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji-ah, Asyaa’irah, Maaturiidiyyah, Shuufiyyah. Sebagaimana mereka telah membantah para tokoh ahli bid’ah seperti Jahm bin Shafwaan, Bisyr Al-Marriisi, ibnul Muthahhar Al-Halli, Ar-Raazi dan ibnu ‘Arabi. Mereka juga telah membantah Al-Aamidi, Al-Ghazzaali, Al-Bakri, Al-Akhnaa-i, As-Subki dan yang lainnya.

Para Ulama salafi masa kini mengikuti jejak salaf shalih dalam membantah kelompok-kelompok pelaku bid’ah, dalam membantah para tokoh ahli bid’ah dan kesesatan. Mereka telah membantah kelompok Shuufiyyah dan jemaah-jemaah hizbiyyah saat ini4 yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuk para sahabatnya. Mereka juga membantah siapa saja yang menyimpang dari sunnah dan manhaj salaf shalih, banyak maupun sedikit penyimpangan itu; jika mereka mengetahuinya maka akan dibantah; sebagai bentuk pembelaan terhadap agama Islam.

Para Ulama salafiyyiin masa kini, yang membantah dalil-dalil ahli bid’ah di zaman ini, mereka mengikuti jalan yang benar dalam membantah, yakni tanpa muwaazanah antara menyebut kebaikan-kebaikan dan menyebut keburukan-keburukan. Di antara kitab terbaik tentang ini dan mendapatkan sambutan positif dari para Ulama adalah kitab: Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fii Naqdir Rijaal wal-Kutub wath-Thawaa-if, karya Syaikh, Ulama besar, Doktor Rabii’ bin Haadi ‘Umair Al-Madkhali, manhaj dalam mengkrtitik yang disebutkan oleh Syaikh Rabii’ dikuatkan oleh Ulama terkemuka zaman ini, di antaranya adalah Syaikh, ‘Allaamah, Imam ‘Abdul ‘Aziiz bin baaz rahimahullah, Syaikh, ‘Allaamah Naashiruddiin Al-Albaani, Syaikh, ‘Allaamah Shaalih Al-Fauzaan dan yang lainnya.

Syaikh, ‘Allaamah ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz pernah ditanya dengan pertanyaan berikut: “Terkait manhaj ahlussunnah wal jama’ah dalam mengkritik ahli bid’ah dan kitab-kitabnya, apakah yang wajib itu menyebut kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahannya atau cukup menyebut kesalahan-kesalahannya saja?”

Maka beliau -rahimahullah- pun menjawab:

“Yang diketahui dari pendapat ahli ilmu, adalah mengkritik kesalahan-kesalahan agar diwaspadai, juga menjelaskan kekeliruan orang yang keliru supaya orang-orang awas terhadap kekeliruan itu. Adapun kebaikan, maka itu makruf, kebaikan itu diakui, namun yang menjadi tujuan adalah peringatan tentang kekeliruan mereka: Jahmiyyah, Mu’tazilah, Raafidhah, dan yang semacamnya.”

“Jika memang ada keperluan untuk menerangkan kebenaran yang ada pada mereka, maka terangkan, jika seseorang bertanya: ‘Apa kebenaran yang ada pada mereka? Apa yang sesuai dengan ahlussunnah?’ Jika yang ditanya mengetahuinya, maka ia jelaskan, namun tujuan yang utama dan yang paling penting adalah menerangkan kebatilan mereka, agar diwaspadai oleh penanya, dan supaya penanya tidak condong kepada mereka.”

Penanya lain bertanya kepada beliau:

“Ada orang-orang yang mengharuskan muwaazanah; jika mengkritik seorang ahli bid’ah, agar orang-orang mewaspadainya, maka harus menyebutkan pula kebaikan-kebaikannya agar tidak menzalimi dia.”

Syaikh -rahimahullah- pun menjawab: “Tidak, itu tidak harus, bukan kemestian”.

Oleh karena itu, jika engkau membaca kitab-kitab Ahlussunnah, niscaya engkau dapati bahwa tujuan dari penyebutan kesalahan itu adalah mengingatkan agar waspada. Bacalah dalam kitab-kitab Al-Bukhari: Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, Al-Adab fi Ash-Shahiih, kitab As-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad, kitab At-Tauhiid karya ibnu Khuzaimah, bantahan ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimi terhadap ahli bid’ah dan yang lain sebagainnya. Mereka semuanya bermaksud untuk mengingatkan, tidak bermaksud untuk menyebut kebaikan orang-orang yang dikritik, maksud mereka adalah memberi peringatan tentang kebatilan-kebatilan dari orang yang dikritik itu.

Bagi orang yang telah kafir, maka kebaikan-kebaikan mereka tidak ada artinya sama sekali, jika bid’ahnya adalah bid’ah yang membuat seseorang kafir, maka kebaikannya gugur semua. Jika bid’ahnya tidak mengkafirkan, maka dia berada dalam bahaya besar, denga demikan, maka yang dituju adalah menjelaskan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang perlu diwaspadai.5

Syaikh, ‘Allaamah Shaalih bin Fauzaan Al-Fauzaan -hafizhahullah- ditanya, setelah diajukkan kepada beliau beberapa pertanyaan seputar jemaah-jemaah, pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

“Wahai Syaikh, apakah kita melakukan tahdziir tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka atau kita menyebut kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalah mereka?”

Beliau menjawab:

“Jika engkau menyebut kebaikan mereka, maka artinya engkau mengajak orang agar mengikuti mereka. Tidak, jangan sebut kebaikan-kebaikan mereka, cukup sebutkan kesalahannya saja; karena engkau tidak berkewajiban untuk mempelajari kondisi (perilaku) mereka dan menilai kepribadian-kepribadian mereka. Tugasmu hanya menjelaskan kesalahan-kesalahannya, agar mereka bertaubat, dan supaya orang lain berhati-hati darinya. Adapun jika engkau menyebut kebaikan-kebaikannya, maka mereka akan berkata, ‘inilah yang kami harapkan’.” (mukadimah An-Nashr Al-‘Aziiz (hal. 8), dikutip dari kaset rekaman pelajaran ketiga dari pelajaran kitab tauhid yang disampaikan oleh beliau yang mulia pada musim panas tahun 1413 H, di Thaif.)


Yang mulia Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz Al-Muhammad As-Salman -rahimahullah juga ditanya:


“Apakah menurut manhaj salaf itu disyaratkan muwaazanah antara menyebut kebaikan-kebaikan dan keburuka-keburukan, saat mengulas ahli bid’ah?”


Beliau pun menjawab:


“Ketahuilah -semoga Allah memberikan taufik kepada kami, Anda dan kepada seluruh kaum muslimin-, sesungguhnya tidak ada riwayat dari seorang salaf shalih, dari Sahabat, Tabi’in dan dari orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tentang menakzimkan seorang ahli bid’ah, para pendukungnya dan para penyeru yang mengajak untuk membela ahli bid’ah; karena ahli bid’ah itu adalah orang-orang yang sakit hatinya, penyakit kronisnya dikhawatirkan menular kepada orang-orang yang bergaul dan berhubungan dengan mereka; karena orang sakit itu dapat menularkan penyakitnya, namum tidak sebaliknya (penyakit itu dapat menular kepada orang sehat, sedangkan sehat tidak dapat menular kepada orang sakit), maka hendaklah betul-betul waspada terhadap semua ahli bid’ah.”


Di antara ahli bid’ah yang harus dijauhi dan ditinggalkan adalah: Jahmiyyah, Raafidhah, Mu’tazilah, Maatuuriidiyyah, Khawaarij, Shuufiyyah, Asyaa’irah dan siapa saja yang sejalan dengan mereka yang menyimpang dari jalan (cara bergama) salaf, maka seorang muslim harus berhati-hati terhadap mereka dan memperingatkan orang lain agar waspada. (Muqaddimatu An-Nashril ‘Aziiz (hal. 2).


Syaikh Al-Bani -rahimahullah- ditanya tentang kaidah muwaazanah, beliau pun mengingkarinya, beliau berkata:


“Dari mana mereka mendatangkan kaidah, bahwa saat seseorang perlu menjelaskan kesalahan seorang muslim, baik ia seorang Dai ataupun bukan, maka orang itu harus menyampaikan ceramah yang isinya adalah menyebut kebaikan-kebaikannya, dari awal ceramah sampai akhir. Allahu Akbar, ini sesuatu yang aneh?!” (jawaban Syaikh Al-Bani dari pertanyaan-pertanyaan Abul Hasan Ad-Da’wiyyah).


Berdasarkan penjelasan yang telah berlalu, dari para Ulama salaf dan Ulama masa kini, jelaslah bahwa muwaazanah dalam mengkritik ahli kebatilan bukanlah manhaj salaf. Manhaj muwaazanah antara menyebut kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan akan menyebabkan akibat buruk yang besar dan berbahaya sekali. Di antara mafsadah yang paling berbahaya adalah:


1. Menganggap salaf bodoh


2. Menuduh salaf zalim dan kejam.


3. Mentakzimkan bid’ah dan pelakunya, melecehkan para Imam salaf dan merendahkan sunnah dan kebenaran yang mereka anut. (lihat kitab: Al-Mahajjah Al-baidha fis Sunnah Al-Gharra, karya Syaikh Rabii’ Al-Madkhali hal. 27)


Lagi pula, sungguh nyata kelihatan, bahwa orang-orang yang menyeru-nyerukan dengan suara lantang supaya seimbang (muwaazanah) antara menyebut kebaikan dan keburukan -padahal pada manhaj muwaazanah terdapa kebatilan, menjadikan bid’ah dan ahlinya tampak baik dan indah- mereka tidak menerapkan metode ini kepada ahlussunnah saat ini yang berjalan di atas manhaj salaf yang mulia, justru, mereka menyerang dengan beragam kejahatan dan malapetaka, secara zalim dan aniaya, mereka menyiarkan kejahatan itu ke seluruh dunia.


Mereka melakukan itu semua dalam rangka membela dan melindungi ahli bid’ah, mereka terjatuh ke dalam lumpur menghalangi manusia dari jalan Allah, merintangi manusia dari manhaj salaf, baik mereka merasa maupun tidak. Mereka juga terjatuh ke dalam lumpur dakwah kepada kebatilan dan bida’h-bid’ah, baik mereka menyadari ataupun tidak. Demikian dari ucapan Syaikh Rabii’ (lihat kitab: Al-Mahajjah Al-baidha (hal. 31).

Bersambung in syaa Allah…

Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah, ‘Abdussalaam bin Saalim bin Rajaa As-Suhaimi, Ad-Daarul Atsariyyah, 2012 M


Footnote:
[1] Ketentuan-ketentuan ini disebutkan oleh Syaikh Rabii’ Al-Madkhali di dalam kitabnya: Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fii Naqdir Rijaal wal-Kutub wath-Thawaa-if (hal. 25 dan halaman setelahnya); sengaja saya kutip karena perkataan beliau merupakan ringkasan manhaj salaf dalam bab ini.

[2] Demikian itu apabila orang ini mengetahui keadaan ahli bid’ah yang dibelanya, serta mengetahui bahwa ia menyelisihi sunnah.

[3] Syaahid dalam ilmu hadits adalah: suatu hadits yang mana para perawinya bersekutu dengan para perawi hadits yang menyendiri, baik bersekutu dalam lafazh dan makna atau hanya dalam maknanya saja dari shabat yang berbeda (pent).

[4] Dan kelompok-kelompok yang di dalam dakwahnya berada di atas manhaj yang menyelisihi apa yang ditempuh oleh salaf shalih, di antara jemaah-jemaah itu adalah jemaah yang dikenal dengan kaidahnya:

نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ وَيَعْذِرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ

“Kita bekerja sama dalam perkara yang kita sepakati dan saling bertoleransi dalam perkara yang kita perselisihkan.”

Mengacu kepada kaidah di atas, maka mereka memiliki manhaj persekutuan yang berbahaya, karena semua yang mendukung kaidah mereka akan bergabung di bawah manhaj ini. Maka perhimpunan ini akan menyebabkan masuknya banyak kelompok-kelompok yang menyimpang. Tidak ada perbedaan antara sufi, raafidhi (orang syi’ah rafidhah), mu’aththil (yang menolak sifat-sifat Allah), musyabbih (orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), qubuuri (pemuja kuburan); bahkan orang-orang kristen dan yahudi pun ikut bergabung, mereka saling bertoleransi dengan yahudi dalam akidah.

Bukan hanya satu dari para tokoh mereka yang berkata:

إِنَّ عَدَاوَتَنَا لِلْيَهُوْدِ لَيْسَتْ دِيْنِيَّةً

“Sesungguhnya permusuhan kita dengan yahudi bukan karena agama.”

Dari dakwah ini maka lahirlah seruan untuk mendamaikan antara sunnah dengan raafidhah, ajakan ini berada di bawah naungan dakwah itu (bekerjasama dalam perkara yang disepakati dan saling bertoleransi dalama perkara yang diperselisihkan). Juga lahirlah ajakan untuk mendekatkan (mendamaikan) seluruh agama, dan ajakan-ajakan lainnya dari beragam seruan yang merobohkan kaidah al-Wala (persahabatan) dan Al-Bara (permusuhan) dalam Islam. Dari jemaah ini muncul jemaah-jemaah, sebagiannya ada yang ekstrem suka mengkafirkan, berada di atas manhaj khawarij, dan sebagian lagi terlalu bersikap toleran (permisif), selaras dengan murji-ah dalam akidahnya.

[5] Lihat mukadimah An-Nashr Al-‘Aziiz (hal. 8). Dikutip dari kaset rekaman salah satu pelajaran dari pelajaran-pelajaran Syaikh bin Baaz, yang beliau sampaikan saat musim panas, tahun 1413 H, di Thaif, dan dari kitab-kitab beliau -rahimahullah- yang memuat bantahan-bantahan terhadap ahli bid’ah dan kelompok-kelompok menyimpang, seperti kitab: At-tahdziir minal Bida’i dan kitab: Naqdul Qaumiyyah Al-‘Arabiyyah, dan bantahan-bantahan beliau yang banyak terhadap para dai yang mengajak untuk melaksanakan peringatan maulid, perayaan-perayaan jahiliyah dan perayaan agama-agama yang menyimpang. Pada bantahan-bantahan itu sama sekali tidak ditemukan muwaazanah yang didakwahkan oleh sebagian orang. Inilah manhaj yang ditempuh Syaikh bin Baaz -rahimahullah- yang juga ditempuh oleh Syaikh, ‘Allaamah Shaalih Al-Fauzaan dalam bantahan-bantahan beliau dan juga dialog-dialognya, demikian pula para Ulama lainnya di negeri ini menempuh manhaj ini, sebagai bentuk ittiba kepada para Ulama salaf -rahimahumullah-.