KONDISI-KONDISI YANG MEMPERBOLEHKAN GIBAH DAN MENYEBUT KECACATAN MENURUT PARA ULAMA ISLAM

Oleh: Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

“Ketahuilah, sesungguhnya gibah itu diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan sesuai dengan syari’at, di mana tujuan itu tidak mungkin terwujud kecuali dengang gibah, berikut adalah 6 keadaan yang memperbolehkan gibah:

1.Mengadukan kezaliman.


2.Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang melanggar (bermaksiat) kepada kebenaran.


3.Meminta fatwa.


4.Memperingatkan kaum muslimin tentang keburukan dan memberikan nasihat kepada mereka.


5.Jika ada seseorang yang terang-terangan dalam kefasikan dan bid’ah.


6.Memperkenalkan, jika seseorang terkenal dengan suatu julukan (laqab), seperti: Al-A’ma (si buta), Al-A’raj (si pincang) dan Al-Ashamm (si tuli), maka boleh menyebut mereka dengan julukan-julukan tersebut.”


Kemudian beliau berkata:


“Ini adalah 6 kondisi yang disebutkan oleh para Ulama, kebanyakannya disepakati oleh mereka, dalil-dalinya adalah dari hadits-hadits shahih yang masyhur.” (Riyaadhus Shaalihiin (hal. 519)).


Sebagian Ulama menyebutkan kondisi-kondisi ini dalam bentuk syair:

القَدْحُ لَيْسَ بِغِيْبَــةٍ فِيْ سِتَّــةٍ

مُتَظَلِّــمٌ وَمُعَـرِّفٌ وَمُحَـذِّرٌ       

وَمُجَاهِرٌ فِسْقًا وَمُسْتَفْــتٍ وَمَنْ

طَلَبَ الْإِعَانَةَ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَــرٍ

Menyebut kecacatan seseorang itu bukanlah gibah dalam 6 kondisi:

Orang yang mengadukan kezaliman, memperkenalkan dan memberikan peringatan

Orang yang melakukan kefasikan secara terang-terangan, orang yang meminta fatwa dan siapa…

Yang meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran

Saya (penulis) berkata: Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah telah menyebutkan dua syarat bolehnya menggibah ahli bid’ah, yaitu:

1.Ilmu.

2.Niat yang benar.


Beliau berkata: “Kemudian, orang yang mengkritik ahli bid’ah dengan ilmu, ia juga harus memiliki niat yang baik. Jika seseorang membicarakan ahli bid’ah dengan cara yang benar, namun untuk tujuan keangkuhan di dunia dan melakukan kerusakan; maka ia serupa dengan orang yang berperang karena kesombongan dan ria. Apabila ia berbicara karena Allah Ta’ala, mengiklaskan amal hanya bagi-Nya, maka ia termasuk mujahid di jalan Allah, pewaris para nabi dan penerus para rasul.


Keadaan-keadaan yang memperbolehkan gibah ini tidak bertentangan dengan sabda rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam:

الْغِيْبَةُ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

“Gibah itu adalah kamu menyebut apa yang tidak disukai oleh saudaramu.”


Saudara itu (yang disebut aibnya) adalah seorang mukmin, saudara seorang mukmin, jika ia tulus dalam imannya, maka ia tidak akan membenci kebenaran, kebenaran yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, walaupun ia harus menjadi saksi terhadap dirinya sendiri atau terhadap kerabatnya; ia harus tetap menegakkan keadilan dan bersaksi (memberikan keterangan) karena Allah, walaupun ia harus menyatakan kebenaran mengenai dirinya sendiri, orang tuanya atau kerabatnya.


Tatkala ia membenci kebenaran, berkuranglah imannya; sehingga persaudaraannya pun turut berkurang seiring dengan berkurangnya iman, maka kebenciannya yang berasal dari sisi keimanannya yang kurang, tidak perlu dijadikan sebagai patokan; karena yang dia benci adalah perkara yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga wajib bagi dia untuk lebih mengedepankan cinta Allah dan cinta Rasulnya, sebagaimana Allah berfirman:

وَٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَحَقُّ أَن يُرۡضُوهُ إِن كَانُواْ مُؤۡمِنِينَ

“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya”. (QS. At-Taubah [9]: 62) 
(Majmuu’l Masaa-il war-Rasaa-il (5/281)). Demikian kutipan dari perkataan Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah).

Kita tutup pembahasan-pembahasan ini dengan pembahasan yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam pembahasan yang kesembilan dari kitab: Hajrul Mubtadi’ (hal. 48), sanksi bagi orang yang membela ahli bid’ah, beliau -hafizhahullah- berkata:

كَمَا أَنَّ الْمُتَكَلِّمَ بِالْبَاطِلِ شَيْطَانٌ نَاطِقٌ فَالسَّاكِتُ عَنِ الْحَقِّ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

“Sebagaimana orang yang mengatakan kebatilan adalah syaithan yang berbicara, maka orang yang tidak menyampaikan kebenaran adalah setan bisu.” Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu ‘Ali Ad-Daqaaq (wafat tahun 406 H).


Dan di antara sunnah yang sahih adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam:

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

“Seseorang akan Allah kumpulkan (pada hari kiamat) bersama orang-orang yang ia cintai.”


Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: kaum muslimin tidak pernah bergembira setelah kegembiraan mereka karena islam, melebihi gembiranya mereka karena hadits ini.

Sungguh para imam sangat keras pengingkarannya terhadap orang yang menyelisihi pokok akidah, yang tidak memboikot para ahli bid’ah.

Saat membantah sekte Ittihaadiyyah (sekte yang meyakini bahwa Dzat Allah bersatu dengan setiap makhluk-Nya), Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah berkata:


“Harus memberikan sanksi kepada siapa saja yang menisbatkan dirinya kepada kelompok itu, juga kepada yang membelanya, memujinya, menganjurkan kitab-kitabnya, atau seseorang yang diketahui membantu dan menolongnya, tidak suka jika kelompok itu dikritik, ia yang memberikan udzur (memaafkan) dengan dalih bahwa perkataan ini tidak ada yang mengetahui apa maksudnya?! atau mengatakan, “Siapa bilang bahwa dialah yang menulis kitab ini?”…


Dan alasan-alasan yang serupa lainnya yang tidak mungkin dikemukakan kecuali oleh orang bodoh atau munafik. bahkan harus memberikan sanksi kepada siapa saja yang diketahui tidak mendukung perlawanan terhadap sekte ini, karena melawan mereka termasuk kewajiban yang paling besar; karena mereka telah merusak akal dan agama, yang berdampak kepada para Syaikh, Ulama, para Raja dan para penguasa. Mereka membuat kerusakan di muka bumi dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.” (lihat Majmuu’ Al-Fataawaa (2/132))


Syaikh Bakr berkata:


“Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah, memberikannya minum dari air minum surga, Amin. Ucapan Syaikhul Islam adalah ucapan yang mendalam dan sangat penting, walaupun ucapan itu secara khusus ditujukan kepada sekte Ittihaadiyyah, namun sebetulnya mencakup semua ahli bid’ah.


Setiap orang yang menolong ahli bid’ah, dengan cara memuliakannya, memuliakan kitab-kitabnya, menyebarkan kitab-kitab itu di tengah-tengah kaum muslimin, membelanya dan membela kitabnya, menyebarluaskan bid’ah dan kesesatan yang ada dalam kitab-kitab itu, tanpa mengungkap kesesatan dan penyimpangan ahli bid’ah itu dalam akidah, maka orang yang demikian adalah orang yang menganggap enteng urusan ahli bid’ah, orang semacam ini wajib dihentikan keburukannya, agar tidak mencelakakan kaum muslimin.


Dewasa ini, kita diuji dengan kelompok yang memilik pendirian demikian, di mana mereka mememuliakan ahli bid’ah, menyebarluaskan pendapat-pendapat mereka, tidak memperingatkan publik tentang penyimpangan dan kesesatan mereka, maka waspadalah terhadap Abu jahal (orang bodoh), ahli bid’ah ini, kita berlindung kepada Allah dari kebinasaan dan orang-orangnya.” (dari kitab: Hajrul Mubtadi’ (hal. 48, 49))

Selesai Al-hamdulillah…

Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah, ‘Abdussalaam bin Saalim bin Rajaa As-Suhaimi, Ad-Daarul Atsariyyah, 2012 M