Tashfiyah & Tarbiyah (Bag.2)

Pembahasan sebelumnya baca disini

TASHFIYAH

Tashfiyah (تصفية) diambil dari kata Shafa (صفاء) yang artinya adalah jernih, jadi تصفية maknanya adalah proses pemurnian, adapun makna kalimat yang sedang kita bicarakan adalah kalimat yang telah menjadi istilah di kalangan juru dakwah, yakni :

تصفية العلوم الشرعية مما علق بها من اجتهادات مرجوحة, اعتمدت على أدلة غير ثابتة, أو دلالات غير ظاهرة.

Proses penjernihan (pemurniaan) ajaran-ajaran Islam, dari segala yang berkaitan dengannya, berupa ijtihad-ijtihad lemah, yang bersandar kepada dalil-dalil dhaif, atau kesimpulan-kesimpulan hukum yang rapuh. [5]

Dari definisi di atas bisa kita tarik kesimpulan, bahwa ketidak murnian ajaran Islam bersumber dari dua masalah pokok, yaitu:
Dalil-dalil yang dhaif, Istinbat hukum yang lemah atau keliru. Adapun ajaran islam itu sendiri mencakup sumber atau materi, misalnya as-Sunnah sebagai sumber, atau akidah sebagai materi, demikian pula akhlak dan fiqih.

Ta’shil Manhaj Tashfiyah:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125)

Ayat ini – pada asalnya – ditujukan oleh Allah kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk berdakwah menuju jalan Rabnya, dan dialah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terpercaya lagi ma’shum, tidak satu pun dari jalan Rabnya yang ia tinggalkan, dengan demikian, segala sesuatu yang tidak didakwahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia bukanlah jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. [6]

Jadi…..dengannya kita mendapatkan timbangan kebenaran, dengannya kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang batil, dengannya kita bisa mengetahui mana da’i-da’i rabbani dan mana da’i-da’i yang mengajak ke pintu neraka jahanam?

Selanjutnya kita pun tahu kenyataan pahit yang kita alami, demikian pula kita tahu bagaimana sikap para Sahabat dalam menjaga kemurnian Islam, lalu kita pun tahu, bahwa satu-satunya jalan untuk mengembalikan umat kepada Islam adalah dengan mengembalikan mereka kepada ajaran Nabi yang murni, sebagaimana difahami oleh para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Walhasil…..kenyataan pahit ini harus kita ubah – ba’dal aun minallah – dengan mengembalikan mereka kepada ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, membersihkan ajaran islam dari segenap noda-noda hitam yang sama sekali bukan sabilullaah (jalan Allah) yang dikumandangkan oleh RasulNya. Wallahu a’lam.

Kemudian, berkaitan dengan kenyatan di lapangan, maka dalam hal ini ada beberapa medan tashfiyah yang mesti kita lakukan, yang diantaranya adalah:

1. Tashfiyah di Bidang Manhaj

Yang kami maksud dengan manhaj adalah metode beragama. Kesalahan di bidang manhaj merupakan sumber kesalahan di bidang yang lainnya; salah manhaj, maka akidahnya pun akan tersesat, fiqihnya pun akan menyimpang, demikian pula yang lainnya.

Diantara bentuk kesalahan manhaj adalah konsep berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, lalu difahami dengan pemahaman masing-masing, jika demikian maka hampir semua kelompok sesat menyatakan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, misalnya kaum khawarij, jika anda bertanya kepada mereka, maka mereka akan menjawab bahwa sandaran kami adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, demikian pula anda bisa mendapatkan ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah banyak termaktub dalam kitab-kitab sufi. Lalu al-Qur’an dan as-Sunnah yang mana yang bisa kita pegang, apakah al-Qur’an dengan pemaham sufi, al-Qur’an dengan pemahaman khawarij atau al-Qur’an versi JIL?

Demikianlah adanya…..bahwa kaum muslimin memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dengan versi masing-masing, bahkan orang yang gak faham bahasa arab pun berkomentar dan menafsirkan al-Qur’an sesukanya.

Maka kewajiban kita adalah mengembalikan mereka kepada apa yang difahami oleh kaum salaf, karena merekalah yang lebih faham tentang ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka lah yang telah mendapatkan rekomendasi langsung dari Allah Subhanahu wa ta’ala, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوا وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu Telah beriman kepadanya, sungguh mereka Telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 137)

Syekh Abu Bakar al-Jazairi di dalam menafsirkan ayat ini, beliau berkata: ‘Allah Subhanahu wa ta’ala berkata kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, ‘Jika orang-orang yahudi dan nashrani beriman dengan keimanan yang baik, seperti keimanan kalian, maka mereka telah mendapatkan petunjuk’. [7]

Demikian pula diantara kesalahan di dalam manhaj, adalah ungkapan:

السلف أسلم والخلف أعلم وأحكم

“Kaum salaf lebih selamat, sementara khalaf adalah lebih tahu dan lebih bijak”.

Sungguh ucapan di atas keluar karena kejahilan yang nyata, kebatilan ungkapan tersebut bisa kita lihat dari beberapa sisi berikut ini:

Bagaimana Salaf bisa paling selamat, akan tetapi dia tidak lebih berilmu, mestinya semakin berilmu, maka akan semakin selamat, dan semakin bodoh, maka akan semakin dekat kepada kesesatan.
Pernyataan khalaf lebih tahu, merupakan pernyataan yang secara tidak langsung merendahkan para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, padahal mereka telah mendapatkan tazkiyah dari Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ilmu maupun amal.

Sungguh sesat pernyataan di atas, tapi itulah yang diyakini dan difahami oleh banyak kaum muslimin sekarang ini.

Bahkan ketika mereka mengaku sebagai khalafi (pengikut manhaj khalaf), maka kata-kata tersebut merupakan i’lan (pertanda) bahwa mereka menyelisihi manhaj salaf, yang dipimpin oleh para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, lalu pernyataan itu saja sudah cukup menjadikan mereka sebagai golongan yang tersesat. [8]

Diantara metode beragama yang mesti diluruskan adalah mencari-cari dalil terhadap amalan yang telah berlaku, bukannya mengamalkan dalil.

Sikap seperti ini bisa kita dapatkan pada sebagian orang yang dianggap sebagai ulama, mestinya mereka tahu, sesungguhnya hakikat daripada lafazh ulama adalah rasa takut kepada Allah, yang diantara buktinya adalah mengamalkan apa-apa yang difirmankanNya, juga yang disabdakan oleh NabiNya, bukan mencari-cari dalil untuk membenarkan apa-apa yang mereka lakukan, jika demikian, maka sesungguhnya mereka tidak berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, keduanya dipaksakan untuk manut kepada apa-apa yang mereka inginkan.

2. Tashfiyah di Bidang Akidah

Pada awalnya akidah itu difahami dengan sangat sederhana, para sahabat hanya nurut terhadap apa-apa yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, difahami oleh yang awam, apalagi yang alim.

Coba perhatikan bagaimana seorang budak belia ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, ‘Dimanakah Allah?’ lalu dia menjawab, ‘Di langit.’ Seorang budak belia dengan kesederhanaannya, dan tanpa pusing berpikir dia menjawab bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala ada di langit, tetapi sekarang masalah itu menjadi serasa sangat rumit, terus diakal-akali sehingga buntu tak bisa diakhiri, ya….itulah awalnya, ketika akal dipertuhankan, ketika akal dijadikan timbangan dan sandaran yang menentukan kebenaran, betul apa yang dikatakan oleh ar-Razi:

نهايـةُ إقـدامِ العقـولِ عِقالُ … وغايـةُ سعي العالمينَ ضلالُ
وأرواحُنا في وحْشَةٍ من جسومنا … وحاصلُ دُنيانا أذىً ووبالُ
ولم نستفد من بحثنا طولَ عُمرنا … سِوى أنْ جمعنا فيه قيلَ وقالوا

Puncak dari keberanian akal adalah kebuntuan
Bahkan kebanyakan usahanya berakhir dengan kesesatan
Sehingga ruh-ruh kita serasa asing dengan jasadnya sendiri
Akhirnya kehidupan dunia diakhiri dengan sakit dan nyeri
Menggali terus (bertopang kepadanya) tak ada guna
Selain mengumpulkan bualan ini dan itu kemana-mana [9]

Kemudian kita bisa menyaksikan, bahwa kotoran-kotoran itu diawali dari pengaruh filsafat, dari pengaruh orang-orang yang memuja akal, sehingga masalah-masalah akidah ditimbang dengan akal semata.

Atsar-atsar tersebut bisa kita saksikan di lapangan, dalam salah satu kitab yang tidak asing di kalangan masyarakat indonesia diungkapkan:

وكل نص أوهم التشبيها        أوله أو فوض ورم تنزيهــا

Coba perhatikan! Bait ini sangat kental dengan pengaruh ilmu kalam, dia memerintahkan untuk takwil atau tafwidh dalam nash-nash al-Qur’an, dengan dugaan bahwa nash tersebut memberikan syubhat, sehingga menyerupakan Allah dengan mahluknya, itu adalah dugaan yang timbul karena mereka hanya menyandarkan diri kepada akal, padahal yang mesti kita lakukan adalah mengimani ayat-ayat al-Qur’an, bahkan huruf-huruf al-Qur’an apa adanya tanpa takwil, dan sebelumnya kita mesti menanamkan keyakinan sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak serupa dengan mahluknya, sungguh sangat sederhana, dan mudah difahami.

 3. Tashfiyah di Bidang Fiqih

Keyakinan sebagian masyarakat akan wajibnya bertaklid kepada salah satu madzhab, merupakan salah satu kesalahan besar yang telah menodai putih dan jernihnya ajaran Islam, coba perhatikan salah satu ungkapan dalam kitab Jauharut Tauhid:

وواجب تقليد حبر منهم       كذا حكى القوم بلفظ يفهم

‘Dan bertaklid kepada salah seorang ulama diantara mereka adalah sesuatu yang mesti’
‘Demikianlah yang dihikayatkan oleh satu kaum dengan ungkapan yang dimengerti’

Kita bertanya kepadanya, ‘Dari mana anda mendapatkan ketentuan seperti ini?’ apakah ada seorang pendahulu yang menyatakan seperti itu? Dari kalangan sahabat, tabiin atau tabiut tabiin?

Bahkan semua imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad, sepakat agar murid-muridnya tidak mengikuti mereka tanpa dalil, agar siapa saja tidak manut kepada mereka tanpa bukti, karena mereka adalah manusia bisa salah dan bisa benar, mereka bukan ma’sum seperti halnya seorang nabi.

Imam Abu Hanifah berkata, ‘Janganlah kalian mengambil segala apa yang aku ucapkan, sebelum kalian tahu darimana aku mendapatkannya!’

Imam Malik berkata, ‘Setiap manusia, bisa diambil ucapannya dan bisa ditinggalkan, kecuali ucapan penghuni makam ini’ (yakni Nabi Shallallahu ‘alahi was Salam ).

Imam Syafii berkata, ‘Jika ada ucapanku, yang bertentangan dengan ucapan nabi Shallallahu ‘alahi was Salam, maka lemparkanlah ucapanku itu, dan ambilah sabda nabi Shallallahu ‘alahi was Salam’.

Imam Ahmad berkata, ‘Janganlah kalian bertaklid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafii, Auzai, atau kepada Sufyan, akan tetapi ambilah darimana mereka mengambil’.

4. Tashfiyah di Bidang Sunnah

Diantara tugas para da’i berkaitan dengan Sunnah nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah membersihkan khazanah Sunnah yang sangat luas dari kotornya hadits-hadits dhaif bahkan palsu, karena tidak diragukan sesungguhnya diantara salah satu sumber penyimpangan dan perbuatan bid’ah adalah hadits-hadits dhaif.

Berapa banyak kitab ataupun buku-buku menyatakan berbagai permasalahan hukum atau yang hanya bersifat nasihat, sayangnya dalil-dalil yang mereka gunakan adalah hadits-hadits palsu, misalnya kitab Durratun Nasihin, Ihya Ulumuddin, juga kitab barjanji yang biasa dibaca secara rutin.

Hadits adalah pondasi, maka jika pondasinya lemah tidak mungkin atapnya bisa kuat.

Bahasan masalah ini sangatlah luas, cukup saja goresan-goresan di atas menjadi isyarat akan tugas yang sangat agung.

Inilah sebagian yang sangat amat kecil, dari medan-medan tashfiyah. Intinya kita hendak mengembalikan seluruh yang berkaitan dengan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pemahaman salaful Ummah, bukan dengan pemahaman anda semata juga bukan dengan pemahaman saya, karena jika komputernya sama, akan tetapi softwarenya berbeda, maka hasilnya pun akan beragam.

Bersambung…

 

Ditulis oleh,
Ustadz Beni Sarbeni, Lc

 


Footnote:
[5] Al-Manhajus Salafi ‘indas Syaikh Nashiruddin al-Albani (207)
[6] At-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Atsaruha fis Ti’nafil Hayat al-Islamiyyah oleh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsary.
[7] Aisarut Tafasir  – al-Maktabatus Syamilah
[8] 
Tahdzib tashilil akidah al-Islamiyyah (7) oleh  Prof DR Abdullah bin Abdil Aziz al-Jibrin, dengan sedikit perubahan.
[9] 
Lihat al-Fatawa al-Hamawiyah al-Kubra’ (hal: 7) cetakan as-Salafiyah, bait-bait tersebut diungkapkan oleh al-Fakhrur Razi, yang beliau lantunkan pada sebuah kitab yang bernama Aqsaamul Ladzat, sebagaimana diungkapkan oleh penta’liq kitab al-Hamawiyah, lihat kitab Muwafaqatu Shahihil Manqul li Sharihil Ma’qul (I/ 129-130) cetakan Darul Kutub al-‘Ilmiyyah – Beirut – Libanon (kami menukil dari kitab Manhajus Salaf fil Akidah wa Atsaruhu fi Wihdatil Muslimin)