Pembahasan sebelumnya baca disini
TARBIYAH
Dalam pembahasan ini, saya tidak akan berpanjang kalam, saya khawatir jika makalahnya menjadi maqaalaaat atau risaalaaat.
Thayyib….kata Tarbiyah berasal dari Rabaa-Yarbuu yang artinya berkembang, atau berasal dari kata Rabiya-Yarbaa yang artinya menjadi besar atau dewasa, bisa juga diambil dari kata Rabba-Yarubbu yang artinya mengurusi. [10]
Adapun secara istilah adalah sebagaimana diungkapkan oleh Amr Abdul Mun’im salim:
تهذيب الأخلاق, والتمسك بأخلاق الشريعة ظاهرا وباطنا في العبادات والمعاملات, على أصل أصيل, ألا وهو الكتاب والسنة.
‘Meluruskan akhlak, dan berpegang teguh kepada akhlak Islam secara zhahir dan batin, dalam ibadah ataupun muamalah, di atas landasan utama, yakni al-Qur’an dan as Sunnah. Kaitannya dengan makna bahasa, maka bisa kita katakan bahwa tarbiyah itu adalah:
1. Mengembangkan mereka di atas al-Qur’an dan sunnah.
2. Mendewasakan mereka di atas al-Qur’an dan sunnah.
3. Mengurusi mereka agar berjalan di atas al-Qur’an dan sunnah.
Selanjutnya dalam menunaikan tarbiyah ini, maka semestinya kita mengikuti langkah-langkah yang ditunjuki oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Kemudian dalam menjelaskan langkah-langkah tersebut, marilah kita awali dari poin yang sangat penting, yaitu kita harus selalu ingat, bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia, hanyalah untuk beribadah, atau bertauhid hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dalam mewujudkan ibadah tersebut maka ada langkah-langkah tertentu, yaitu:
1. Iman (ilmu).
Iman menurut bahasa artinya membenarkan, dan kita tidak mungkin membenarkan sesuatu tanpa ilmu, karena itu dari kata iman ini, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan, bahwa langkah pertama adalah ilmu.
Kita tidak mungkin beramal tanpa ilmu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19)
Imam Bukhari mencantumkan satu bab di dalam Shahihnya ‘Bab ilmu sebelum beramal’. Kemudian yang dimaksud dengan ilmu, yang mesti diprioritaskan adalah:
– Mengenal Allah.
– Mengenal Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam.
– Mengenal Islam.
Tentu semua itu kita ketahui melalui al-Qur’an dan as-Sunnah atau dengan bahasa lain bil Adillah, yang difahami dengan pemahaman kaum salaf, bukan dengan pemahanan ahlul kalam atau yang lainnya, dan tentu saja ilmu-ilmu tersebut disertai dengan proses tashfiyah.
2. Amal
Tahapan kedua, setelah kita mendapatkan ilmu adalah mengamalkannya, sebesar apapun ilmu yang kita dapatkan, maka sesungguhnya ia sangat haus akan pengamalan. Banyak sekali dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yang menjelaskan kewajiban beramal, diantaranya adalah:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. ash-Shaff: 3).
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan kepada kaum mukminin agar tidak mengatakan sesuatu yang tidak diamalkannya, sebagai kasih sayang, keutamaan dan kebaikan bagi mereka.[11]
Selanjutnya, masalah penting berkaitan dengan pengamalan adalah, sesungguhnya kita tidak akan menambah ilmu kecuali setelah kita mengamalkan ilmu yang ada. Ini adalah salah satu kiat sukses dalam menuntut ilmu, karena dengannya kita akan mendapatkan dua hal:
– Memperkuat daya lekat ilmu dalam diri kita.
– Menjadikan ilmu tersebut bermanfaat, karena hakikat daripada ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan.
Demikianlah yang dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang tabi’in yang mulia Abu Abdirrahman as-Sulami, ‘Sesungguhnya kami mempelajari al-Qur’an dari satu kaum – seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan yang lainnya Radhiyallahu ‘Anhum – mereka mengabarkan kepada kami, bahwa jika mereka mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, maka mereka tidak akan menambahnya, sehingga mereka tahu isi kandungannya, kata mereka, ‘Jadi kami dahulu mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannya, dan sungguh….nanti akan ada satu yang mendapatkan al-Qur’an, sayangnya mereka menerimanya bagaikan meminum air……’ [12]
Intinya adalah, ilmu itu mesti diamalkan, dan itulah kiat jitu agar ilmu yang kita miliki bertambah.
3. Dakwah
Masalah dakwah adalah diantara materi yang insya Allah telah kalian kuasai dengan benar, jadi dalam makalah ini saya tidak akan panjang lebar menulis tentangnya, hanya saja saya akan menekankan beberapa poin penting berikut:
Dakwah adalah ibadah.
Dakwah adalah kewajiban setiap pribadi muslim.
Dakwah harus berlandaskan di atas ilmu dan amal.
Dakwah adalah tugas para nabi, juga pewarisnya.
Dakwah bukan khutbah, bahkan bisa jadi khutbah sama sekali tidak mengandung unsur dakwah.
Dakwah adalah indah.
Dakwah bisa dengan perbuatan, bisa dengan lisan, bisa pula dengan tulisan
4. Sabar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (QS. al-Baqarah: 45)
Dalam masalah ini ada satu hal indah yang diungkapkan oleh syekh as-Sa’di dalam kitabnya Qawaidul Hisan, beliau mencantumkan kaidah keenam puluh dua dengan ungkapan, ‘Sabar adalah sebesar-besarnya penolong dalam mewujudkan segala hal, dan mengetahui sesuatu merupakan penunjang wujudnya kesabaran dalam masalah tersebut’.
Maksudnya, ketika kita mengetahui sesuatu, manfaat dan buah yang akan didapatkannya, maka ia menjadi daya tarik sehingga kita bersabar dalam mendapatkannya.
Jadi jika kita ingin bersabar dalam menuntut ilmu, banyaklah mencari data tentang faidah dan buah-buah ilmu, jika kita ingin bersabar dalam beramal, maka seringlah menelaah manfaat dan hasil dari pengamalan atas ilmu yang kita mililiki, lalu jika kita ingin bersabar dalam berdakwah, maka pelajarilah keutamaan berdakwah, dengan harapan semua itu menjadi motivasi sehingga kita bisa bersabar dalam mewujudkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala bercerita tentang kisah Nabi Musa dengan Khidir:
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
“Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Aku, Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS. al-Kahfi: 67-68)
Penutup
Ya Allah, hanya kepadaMu kami memohon, semoga Engkau kembalikan kaum muslimin kepada agama mereka dengan baik, dan hanya kepadaMu kami memohon ditampakan kebenaran, lalu diberikan pertolongan untuk menegakannya, dan hanya kepadaMu kami memohon ditampakan kebatilan, lalu diberikan pertolongan untuk meninggalkannya, dan janganlah Engkau menjadikannya terasa rancu bagi kami, sehingga kami tersesat, sesungguhnya hanya Engkau yang bisa melakukan hal itu, lalu shalawat dan salam juga keberkahan semoga Engkau curahkan kepada Nabi kami Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik sampai hari kiamat.
Ditulis oleh,
Ustadz Beni Sarbeni, Lc
Footnote:
[10] At-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Atsaruha fis Ti’nafil Hayat al-Islamiyyah oleh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsary, untuk lebih lengkapnya silahkan anda membuka kamus Lisanul ‘Arab oleh Ibnu Mandzur.
[11] Muqawwamatud Da’iyah an-Najih – Said bin Ali bin Wahhab al-Qahtahni
[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VI/ 172) dengan sanad yang shahih, demikianlah yang dikatakan oleh Syekh Ali bin Hasan al-Halabi dalam At-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Atsaruha fis Ti’nafil Hayat al-Islamiyyah, anda juga bisa mendapatkannya dalam Jaamiur Rasaal oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (I/ 88) – al-Maktabatusy Syamilah.