TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA #2
Kedua: Tauhid Uluuhiyyah
Tauhid uluuhiyyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah, dengan cara hanya beribadah kepada Allah semata, dan tidak menyembah siapa pun selain Dia, baik malaikat, Rasul, Nabi, wali, pohon, batu, matahari, atau yang lainnya, apa pun itu.
Allah berfirman:
وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡءًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. An-Nisa [4]: 36)
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiya [21]: 25)
وَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٌ وَٰحِدٞۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]: 163)
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al- Imran [3]: 18)
Tauhid ini telah diingkari oleh kaum musyrikin yang dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman:
إِنَّهُمۡ كَانُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسۡتَكۡبِرُونَ ٣٥ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓاْ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٖ مَّجۡنُونِۢ٣٦
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?'” (QS. Ash-Shaffat [37]: 35-36)
وَعَجِبُوٓاْ أَن جَآءَهُم مُّنذِرٌ مِّنۡهُمۡۖ وَقَالَ ٱلۡكَٰفِرُونَ هَٰذَا سَٰحِرٌ كَذَّابٌ ٤ أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰهًا وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَابٌ ٥ وَٱنطَلَقَ ٱلۡمَلَأُ مِنۡهُمۡ أَنِ ٱمۡشُواْ وَٱصۡبِرُواْ عَلَىٰٓ ءَالِهَتِكُمۡۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ يُرَادُ ٦
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: ‘Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta’. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): ‘Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki’.” (QS. Shad [38]: 4-6)
Disebabkan karena kaum musyrikin itu mengingkari tauhid uluuhiyyah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka dan menghalalkan darah dan harta mereka, serta menyandera para wanita dan keturunan mereka atas izin dan perintah Allah ta’ala, pengakuan mereka terhadap tauhid rubuubiyyah tidak menyebabkan mereka dikeluarkan dari kesyirikan, serta tidak dapat melindungi darah dan harta mereka.
Tauhid inilah yang menjadi alasan Allah menciptakan jin dan manusia.
Allah berfirman:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Untuk menegakkan tauhid inilah Allah mengutus para Rasul dam menurunkan kitab-kitab.
Allah berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya [21]: 25)
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَٰلَةُۚ فَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl [16]: 36)
Sungguh, para Rasul -semoga shalawat dan keselamatan tercurah kepada mereka- telah melaksanakan tugas itu, mereka menyeru kaumnya:
أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓۚ
“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. (QS. Al Mu’minun [40]: 32)
Yakni tidak ada sembahan yang benar bagi kalian, kecuali Allah, maka semua sembahan selain Allah itu batil.
Realisasi dari tauhid uluuhiyyah adalah dengan hanya ibadah kepada Allah semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan syari’at yang dibawa oleh para Rasul-Nya.
Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)
Siapa saja yang tidak mengesakan Allah dalam ibadah, maka dia adalah orang yang menyombongkan diri, bukan orang yang yang mentauhidkan Allah. Siapa yang menyembah-Nya dan menyembah selain Allah, maka dia adalah orang musyrik, bukan orang yang mentauhidkan Allah. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak Dia syari’atkan, maka dia adalah ahli bid’ah, tauhidnya cacat (berkurang), karena ia menjadikan sekutu bagi Allah ta’ala dalam membuat syari’at.
Makna ibadah
Lafazh ini memiliki dua makna:
Makna pertama: ibadah adalah penghambaan (ta’abbud), ia merupakan perbuatan seorang hamba, maka ibadah di sini bermakna merendahkan diri (tadzallul) kepada yang disembah karena cinta dan pengagungan.
Cinta dan pengagungan adalah asas ibadah: karena cintalah, seorang hamba berupaya untuk mendapatkan ridha dari Allah yang diibadahi, dengan cara melaksanakan apa yang Dia perintahkan.
Dengan pengagunganlah seorang hamba menghindari semua sebab yang akan menyeretnya kepada murka Allah, dengan cara meninggalkan apa yang Dia larang.
Makna kedua: ibadah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai peribadatan (al-muta’abbad bihi), dengan demikian, maka ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dengannya Allah disembah, seperti thahaarah, shalat, shadaqah, shaum, haji, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, dan lain sebagainya dari macam-macam ibadah.
Ibadah memiliki dua syarat:
Pertama: ikhlash karena Allah, di mana seseorang tidak menginginkan apapun dari ibadahnya kecuali wajah Allah dan mendapatkan surga-Nya, ini adalah realisasi dari syahadat Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada yang diibadahi dengan benar kecuali Allah).
Kedua: meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, di mana seseorang tidak beribadah kepada Allah ta’ala dengan sesuatu yang tidak Dia syari’atkan, ini adalah perwujudan dari syahadat Anna Muhammadan Rasulullah (Sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah).
Orang yang menyekutukan Allah dalam ibadah, ibadahnya tidak diterima dan tidak sah, karena tidak memenuhi syarat yang pertama.
Orang yang melakukan bid’ah dalam ibadah, juga tidak diterima dan tidak sah, karena tidak memenuhi syarat yang kedua.
Kitab Allah ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada dua syarat ini.
Adapun dalil dari kitab Allah tentang syarat ikhlas dalam ibadah adalah firman Allah:
فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصًا لَّهُ ٱلدِّينَ ٢ أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar [39]: 2-3)
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Di antara dalil dari sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Al-Khaththaab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ هَاجَرَ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya setiap amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang sesuai dengan yang ia niatkan, siapa saja yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya dihitung karena Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diperolehnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka ia berhijrah kepada yang ditujunya itu.”
Ini adalah salah satu dari redaksi Al-Bukhari (terkait hadits ini).
Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan, namun ia menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya.”
Di antara dalil tentang pensyaratan ittiba kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah firman Allah ta’ala:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am [6]: 153)
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali-Imran [3]: 85)
Dan firman Allah tatkala menyebutkan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf [7]: 157)
Adapun dalil-dalil dari sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ketika beliau berkhutbah pada hari jumat, beliau biasanya mengucapkan:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Dalam hadits yang shahih juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpedoman kepada sunahku, dan sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk sepeninggalku, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setaip bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Ittiba tidak akan terwujud kecuali apabila ibadah sesuai dengan syari’at (yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam sebabnya, jenisnya, kadarnya, caranya, waktunya dan tempatnya.
Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Syarah Al-‘Aqiidah Al-Waashithiyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Karya Syaikh Muhammad Bin Shaalih bin Utsaimin, yang diringkas oleh Abdullah bin Muhsin Ash-Shaa’idi dalam kitabnya: Taqriib wa Tahdziib Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waashithiyyah.